Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang divonis murtad di negerinya, telah ditolak kehadirannya oleh umat Islam Riau. Penolakan itu dilakukan MUI Riau bersama sejumlah Ormas Islam lainnya. Semula, pihak Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Agama memang menjadwalkan akan menghadirkan murtadin Abu Zayd dalam acara Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, yang secara resmi telah dibuka Menteri Agama, H. Maftuh Basuni, pada Rabu malam (21/11) di hotel Syahid Pekan Baru.
Dalam pidato sambutan pembukaan ACIS VII, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, MA, menjelaskan bahwa Abu Zayd tidak bisa datang karena satu hal. Namun katanya, Abu Zayd berjanji akan hadir pada acara International Seminar di UNISMA Malang, 26 November minggu depan.
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh liberal yang pendapat-pendapatnya sangat ekstrim dan norak, sehingga dia divonis murtad oleh Mahkamah Mesir. Dia lalu kabur ke Leiden University. Dari sanalah, dengan dukungan dana dari jaringan Zionisme, dia mulai mendidik beberapa dosen UIN/IAIN. Beberapa muridnya sudah kembali ke Indonesia dan menduduki posisi-posisi penting di UIN/IAIN.
Di Indonesia, para liberalis di kampus-kampus UIN/IAIN menganggap murtadin Abu Zayd sebagai rujukan utama. Dalam hasil penelitiannya terhadap perkembangan paham-paham keagamaan Liberal di sekitar kampus UIN Yogyakarta, Litbang Departemen Agama menulis, "Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.
Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melanggengkan status quo dan menyebabkan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia" (Lebih lengkap tentang kekeliruan pemikiran Abu Zayd bisa dilihat dalam buku "Al-Qur’an Dihujat", karya Henri Shalahuddin, MA (GIP, Jakarta:Jakarta: Mei 2007).
MUI Riau bersama MUI pusat saat ini telah menghimpun data-data pelecehan dan penghujatan al-Quran di lingkungan UIN/IAIN. Bahkan, di IAIN Surabaya, pernah seorang dosen secara sengaja menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa al-Quran bukanlah kitab suci, tetapi merupakan hasil budaya manusia. Kata dosen tersebut, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. " (Majalah GATRA, 7 Juni 2006).
Karena itulah, MUI Riau sangat berkeberatan dengan kehadiran orang-orang seperti Abu Zayd dan antek-anteknya yang menjadi pelayan dari kepentingan Zionisme.
Dalam acara ACIS VII ini, sekali pun Abu Zayd tidak datang, tetapi buku karya murid kesayangannya, yaitu Dr. M. Nur Kholis Setiawan (dosen UIN Yogyakarta, disertasinya diterbitkan dengan judul "Al-Quran Kitab Sastra Terbesar") yang berjudul "Orientalisme, Al-Qur’an dan Hadis", telah diproyekkan untuk dibagikan kepada semua peserta ACIS VII. Ini sungguh-sungguh buku yang tidak bermutu, bahkan merusak. Akan jauh lebih baik membagikan buku Nasruddin Hoja yang mampu menghibur ketimbang buku tersebut.
Adalah sangat aneh, sosok Abu Zayd yang terang-terangan menghujat al-Quran dan juga menjelek-jelekkan Imam Syafii dalam berbagai karyanya justru dipromosikan pemikirannya oleh Departemen Agama RI. Lebih aneh lagi, pihak panitia ACIS sama sekali tidak menghadirkan pembicara yang mampu mengkritik pemikiran Abu Zayd. Padahal, dalam semboyannya ditulis, "ACIS: Barometer Perkembangan Studi KeIslaman di Indonesia." Adakah hal ini mengindikasikan Depag dan Panitia ACIS telah kemasukan kacung-kacung Zionis yang kita kenal dengan sebutan kaum liberalis?
MUI Riau menganggap panitia ACIS memiliki agenda tersembunyi, karena selain mengundang murtadin bernama Abu Zayd yang jelas-jelas memusuhi Islam, panitia juga mengundang para orientalis Barat dan orang non-Muslim seperti Prof. Mark Woodward, Ph. D., Prof. Ron Lukens Bull, Ph. D., dan, Prof. Peter Suwarno, Ph. D yang diundang untuk berbicara tentang Islam. Prof. Peter Suwarno, Ph. D yang saat ini menjabat sebagai associate director of the School of International Letter and Cultures at Arizona State University USA, di awal presentasinya mengatakan bahwa dia bukan ahli agama dan tidak tahu banyak tentang Islam. Hanya saja, dia memang dekat dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud yang sering berkunjung ke Arizona. Peter menamatkan S1-nya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Inilah para pembicara yang akan dijadikan rujukan dalam acara yang memiliki semboyan "BAROMETER STUDI ISLAM DI INDONESIA." Ini sungguh-sungguh tidak lucu dan sangat mencurigakan! Mengapa tidak sekalian saja mengundang Ehud Olmert, Salman Rushdie, atau Bush?
Selain daftar pembicara, yang sangat mencurigakan lagi adalah tema-tema besar yang diusung ternyata adalah apa yang menjadi tema-tema besar kaum liberalis, antara lain:
· Formalization of Syariah as the Real Enemy of Democracy (Formalisasi Syariah sebagai Musuh Nyata Demokrasi)
· Ranjau Formalisasi Syariat
· Mendamaikan Syariat Islam dengan demokrasi Pancasila
· Pancasila dalam kepungan formalisasi Syari’ah Islam.
· Menolak Poligami: ditinjau dari berbagai pendekatan
· Pembaharuan Hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan suatu keharusan
Jauh Panggang Dari Api
Ditilik dari tujuannya, sesungguhnya ACIS merupakan acara yang bertujuan mulia karena mengusung tema utama, "Konstribusi ilmu-ilmu keIslaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan pada millenium ketiga." Dalam pelaksanaannya, tema utama tersebut dirinci dalam lima bidang yang mencakup: Islam, politik dan ekonomi global; Islam dan masalah hak asasi manusia (HAM); Islam dan masalah pendidikan global; Islam dan hegemoni budaya global; serta Islam dan masalah kesehatan, lingkungan dan perkembangan IPTEK.
Menurut logika sehat, seharusnyalah panitia ACIS dan Depag menghadirkan para pakar, ulama-ulama Islam, bukan para murtadin, orientalis, dan kacung-kacung Zionis. Ada apa ini?
MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa no. 7/MUNAS/MUI/II/2005 yang mengharamkan penyebaran paham liberal di Indonesia. Jika ingin jualan liberal, seharusnya jangan sekali-kali mengatasnamakan Islam. Namun jika hal seperti ini dibiarkan saja, jangan salahkan umat Islam jika suatu waktu umat akan bertindak sendiri. Atau jangan-jangan benar kata Gus Dur dulu, “Bubarkan saja Depag!” (Lili Nur Aulia/Rz)