Imbas dari hegemoni orientalisme dan gerakan mereka dalam bidang politik juga menjalar ke dunia Islam. Kita masih ingat bagaimana kaum liberal mendekatkan fahamnya dengan kekuasaan, dari mulai berkiprah di partai politik sampai berupaya menjebolkan misinya lewat jalur undang-undang. Adalah omong kosong jika organisasi seperti Jaringan Islam Liberal, hanya berdalih ingin memisahkan Islam dari Negara. Klaim-klaim kajian liberalisasi Islam murni itikad tanpa tendensi politik patut dipertanyakan. Sebab dalam faktanya, tidak ada ideologi zionis apapun yang mampu menunjang peradaban tanpa ditopang relasi kuasa. Baik itu demokrasi, komunisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Uniknya, berbeda dengan ideologi Islam, ideologi zionisme selalu didirikan lewat serangkain aksi manipulasi, tipudaya, dan juga rekayasa. Ini amat dimungkinkan, karena tidak ada patokan benar dan salah secara tetap. Mereka didesakkan oleh faktor kebencian dan menjadikan kepentingan lebih utama daripada segalanya. Kita masih ingat bagaimana komunisme memecah Syarikat Islam (SI) menjadi dua warna antara putih dan merah. Adalah Ordo Illuminati berjubah Komunis yang disebut-sebut Ad El Marzdedeq dalam bukunya “Freemasonry Melanda Dunia Islam” (1993) secara diam-diam bergerilya ke SI dan berhasil mengkader Semaoen dan Darsono.
Demokrasi Politik dan Ilusi Zionis
Setelah Abad Pertengahan gagal membangun kekuatan, Barat selalu berupaya mencari formulasi pengganti. Dominasi gereja dalam abad pertengahan dianggap menahan laju ilmu dan kebebasan manusia-manusia. Inilah yang kemudian membuat teologi abad pertengahan hancur dan kemudian Barat memunculkan nama baru berupa modernisasi lewat aksi renaisans.
Modernisasi kemudian diisukan sebagai akhir dari penantian selama ini. Mereka menyebut modernisasi adalah edisi pamungkas dari sejarah pencarian Barat terhadap Peradaban dimana keran ilmu pengetahuan mengalir deras mengucur membasahi setelah sebelumnya ditahan klaim Kristen.
Namun uniknya, ditengah secercah harapan atas laju kehidupan yang dicita-citakan itu, modernisasi juga tidak mampu membuat perubahan secara lama. Konsep kebenaran dalam modernisasi yang tidak sesuai perkembangan zaman lagi, membuat Barat merevisi faham mereka dan kemudian menggantinya dengan postmodernisme. Dalam postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran pasti, semuanya menjadi relatif. Benar secara agama, belum tentu benar di Masyarakat. Bahkan kebenaran agama bisa dibatalkan oleh mufakat. Nah di titik inilah para orientalis menggam-gemborkan Demokrasi di dunia Islam.
Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man nyaris meniru peralihan sistem dari mulai abad pertengahan sampai dominasi postmodernisme. Orientalis keturunan Jepang itu mengatakan demokrasi adalah sistem terbaik dan pemenang ketika komunisme Soviet tumbang.
Padahal dalam perkembangannya, demokrasi penuh dengan dosa. Seperti dikutip Farid Wajdi, pengkritik Demokrasi seperti Gatano Masco, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar (Ilusi Negara Demokrasi: Al Azhar Press 2009)
Konteks tirani minoritas atas mayoritas inilah apa yang kita sebut sebagai permainan Zionis dalam mencengkaram umat saat ini. Kaum Zionis, yang disebut Paul Findley, memiki masa tak lebih dari angka 20 juta, mampu menguasai lobi-lobi, tidak hanya di Amerika, tapi juga Negara muslim lainnya.
Kita masih ingat kasus Mesir. Isu-isu yang dihembuskan para orientalis dan zionis tentang cita-cita demokrasi sebagai prasyarat Negara maju sudah bermain sejak lama jauh sebelum Revolusi Timur Tengah melanda. Freedom House, misalnya, lembaga mantel zionis ini aktif menyebarkan keniscyaan demokrasi sebagai ideologi yang kelak sebagai “pilihan terakhir” bagi rakyat Mesir.
Freedom House sendiri berawal ketika Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat sebagai salah satu kekuatan zionis dalam meluluhlantahkan Libya. Sedangkan pada tahun-tahun 1950-1960-an mereka sudah terlibat akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.
Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di Negara-negara muslim adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Ia berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis.
Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.
Demokrasi dan Matinya Agama: Ujung Dari Protocol of Zion
Sebelum NED dan Freedom House mendefinisikan apa yang disebut standar negara sukses dengan demokrasinya di Timur Tengah, Steve Bruce lewat bukunya “God is Dead: Secularization in West” (Blackwell: 2002) menguraikan perihal karakteristik negara modern. Seperti dikutip oleh Syamsudin Arif, Bruce sebagai sosiolog agama kemudian menerjemahkannya pada tiga ciri.
Pertama, adanya diferensiasi fungsi dan struktur sosial, ditandai dengan munculnya sistem birokrasi dan profesionalisme, menggantikan hirarki, dominasi dan pretensi kelompok tertentu. Namun Bruce memberi syarat khusus bahwa hal ini akan sukses ketika dibarengi oleh maraknya tren Pluralisme Agama dan relativisme bahwa tidak ada lagi kebenaran tunggal dalam monopoli kebenaran.
Kedua, lahirnya privatisasi agama sebagai konsekuensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin, sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama sekali dalam konteks sosial. Agama hanya menjadi lahan privat dan pribadi tanpa diperbolehkan ikut campur dalam masalah agama. Ucapan Bruce ini kemudian bisa kita paralelkan dengan statement Ulil tentang Ahmadiyah.
Ketiga, bagi Bruce, Negara harus memberi ruang untuk masuknya rasionalisasi dimana sains tampil dominan menggantikan mitologi, mistisisme, dan sihir. (Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama: Jurnal Islamia 2007)
Pertanyaannya, apakah yang sebenarnya didefinisikan mistisme dan mitologi dalam termin Bruce? Jawabannya sudah terlebih dahulu diambil oleh August Comte, seorang Yahudi konspiratif yang menaruh konsentrasi untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dan kemudian terlaksana pada tahun 1924 oleh Kemal Ataturk.
August Comte menggariskan bahwa perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga tahapan yaitu Tahap Teologik, tahap metafisik, dan kemudian mencapai titik akhir pada tahap positif. Menariknya Comte mendefiniskan zaman penuh kelam, hancur, dan tidak keruan ketika zaman teologik atau agama tampil dominan menguasai sendi kehidupan.
Sebaliknya zaman positif, menurut maksud Comte adalah zaman penuh kemajuan karena orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, yang terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan bagi Comte, hal itu tidak bisa terjadi ketika agama turut campur dalam kehidupan. Rupanya perkataan Comte inilah yang serupa di Protocol of Zion nomor 5:
“Ada suatu langkah yang mampu membikin opini umum, yaitu kita harus mengajukan berbagai pandangan yang dapat menggoyahkan keyakinan-keyakinan sebelumnya yang sudah tertanam di hati dan pikiran masyarakat. Kalau usaha ini belum mendapatkan perhatian, maka masyarakat harus diberikan pandangan lagi yang secara sosial dapat diterima.
Dengan cara ini, keyakinan lama yang sudah tertanam di hati manusia akan tergoyahkan, dan pada akhirnya akan tumbang, lantaran terdepak oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya pendapat dan pandangan yang tidak searah dengan tujuan Yahudi akan musnah, dan di dunia akan jatuh ke dalam perangkap kesesatan.”
Dan doktrin Comte ini menjalar ke seluruh dunia Islam, mulai dari Asia hingga Afrika. Makanya ketika kasus Ahmadiyah meneyeruak, Ulil meminta Negara tidak boleh ikut campur, karena agama wilayah privat dan tidak boleh terjadi relasi kuasa disana. Menariknya Ulil justru kini masuk ke Partai Politik dan memperjuangkan pengesahan pemikiran-pemikiran nyelenehnya tentang Islam lewat jalur undang-undang.
Namun apakah kaum liberalis masuk ke wilayah politik untuk mengangkat agama? Jawabannya tidak, karena mereka ingin “membunuh” agama seperti lonceng kematian Tuhan yang bergema di seluruh Eropa dan Amerika setelah Frederich Nietszche memploklamirkannya. Dan kita tidak perlu berperang dengan mereka di sana, karena justru demokrasi lah yang sebenarnya membuka peluang untuk liberalisasi. Karena benar dan salah bukan lagi milik Allah. (Pz)