Sebuah iklan teve berbunyi: “Soal lidah bisa bohong, tapi soal (cita)rasa gak bisa bohong.” Slogan ini agaknya pas sekali jika ditarik ke ranah politik di negeri ini, di mana antara omongan para pejabat dengan kenyataan terdapat fakta yang saling bertentangan. Di mulut para pejabat menyatakan “A”, sedangkan faktanya “Z”, di mulut para pejabat mengatakan menolak, namun faktanya menerima. Munafik, mungkin ini istilah yang terlalu sarkastis. Tapi mungkin diperlukan bagi bangsa yang sudah terbiasa dengan eufimisme yang sesungguhnya mengaburkan kesejatian.
Sebab itu, untuk mendapatkan makna yang hakiki, bahasa simbol diperlukan untuk bisa mengungkap apa adanya. Dan alangkah jauh lebih baik jika lidah juga membenarkan apa yang diungkap oleh simbol tersebut. Dan alhamdulillah, acara Deklarasi SBY-Budiono yang digelar Jum’at sore, 15 Mei 2009, di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung, telah menyingkap kepada kita semua tentang jati diri mereka. Inilah beberapa bahasa simbol yang terjadi saat itu:
Hamba Washington
Sejak di pintu gerbang hingga ke dalam ruangan utama, kain merah-putih-biru mendominasi tema acara Deklarasi Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Budiono. Hal ini mengingatkan kita kepada acara serupa yang digelar Obama dan Joe Biden saat deklarasi capres-cawapres di Amerika beberapa bulan lalu. Cita rasa Amerika dalam acara deklarasi SBY-Berbudi ini juga tampak dalam slogan-slogam yang dicetak di kaos, spanduk, maupun pin, seperti slogan “One Vote One Nation”. Ini jelas milik Partai Demokratnya Obama.
Apakah dengan demikian Partai Demokrat-nya SBY membenarkan jika mereka merupakan “branch” alias kepanjangan tangan Partai Demokrat yang di AS? SBY dan para pejabat Partai Demokrat yang ada di Jakarta tentu menolaknya. Namun bahasa simbol yang mereka perlihatkan justru mengatakan yang lain.
Apalagi dengan nada penuh kebanggaan, Sekjen Partai Demokrat (PD) Ahmad Mubarrok kepada wartawan menyatakan jika acara deklarasi tersebut mengingatkannya pada acara deklarasi pasangan Obama-Biden di AS. Siapa pun yang menghadiri atau memirsa tayangan acara tersebut yang disiarkan secara langsung oleh sejumlah stasiun teve swasta akan mengakui jika deklarasi “SBY Berbudi” memang menjiplak habis tema acara deklarasi Obama dan Biden.
Seorang pembaca KOMPAS (16 Mei 2009) dalam Rubrik “Kata Kita” mengirim pesan singkat yang berbunyi, “Kenapa bangsa ini jadi plagiat terus? Ternyata enggak cuma musisi aja, eh SBY juga malah niru pesta Obama. Enggak kreatif.” (Mueng, Bekasi, +6281376145XXX)
Sebenarnya, SBY sendiri memang telah lama akrab dan merasa “bagaikan di rumah sendiri” dengan Amerika Serikat, bahkan menganggapnya sebagai “negeri keduanya”, setelah Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Sebuah Imperium Menunggu Rubuh” yang dimuat dalam situs Hidayatullah.com (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6650&Itemid=84), Amran Nasution yang merupakan mantan Redaktur Majalah Gatra dan Tempo dan sekarang bergiat di Institute for Policy Studies (IPS) Jakarta, menulis, “Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Amerika teramat sulit dilupakan. Betapa tidak? Dalam merintis karir militer, ia mondar-mandir menuai ilmu di negeri itu. Ia sempat dua kali mengikuti program latihan militer di Fort Benning, Georgia, di tahun 1976 dan 1982. Lalu, sekolah staf dan komando, 1991, ia tempuh di Fort Leavenworth, Kansas, tempat penggodokan para perwira yang amat bergengsi itu. Gelar S2, ia raih di universitas di sana. Tentu tak banyak perwira Indonesia yang begitu intens menimba ilmu dari negeri yang punya pemenang nobel terbanyak di dunia.
Maka dalam suatu kesempatan mengunjungi Amerika di tahun 2003, sebagai Menko Polkam, SBY berkata, ‘’I love the United State, with all its faults. I consider it my second country’’. Terjemahan bebas penulis: “Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya.” (lihat Al Jazeera English – Archive, 6 Juli 2004).” Link di Al Jazeera English adalah http://english.aljazeera.net/English/archive/archive?ArchiveId=4965 dimana SBY mengatakan, “‘I love the United State, with all its faults. I consider it my second country.’’
Bentuk kecintaannya kepada AS salah satunya dituangkan ke dalam themes acara deklarasi dirinya, yang jika mau jujur sebaiknya dinamakan “The Washington Taste”.
Hal ini diperkuat dengan dipilihnya sosok Budiono, saat itu baru saja mengundurkan diri dari Gubernur Bank Indonesia, seorang ekonom yang oleh banyak kalangan diidentikan sebagai ikon ekonom Indonesia yang berkiblat ke Washington. Dalam bahasanya Amien Rais, Budiono merupakan ikon dari gerakan Neo-Liberal. Kelompok ini merupakan anak cucu dari Mafia Berkeley yang pada November 1967 menjual sebagian besar kekayaan alam Indonesia kepada jaringan korporasi Yahudi Dunia yang berpusat di AS. Kelompok inilah yang membuat bangsa kaya raya ini sekarang menjadi bangsa paria dan dicemooh dunia.
Track-Record Budiono pun memperkuat ini. Di antaranya adalah mengucurkan dana BLBI saat dia menjabat sebagai Deputi Gubernur BI, dan saat menjabat sebagai Ketua Bappenas, Budiono melakukan langkah Privatisasi sejumlah BUMN Strategis yang sangat merugikan bangsa ini. SBY telah memilih sosok ini sebagai cawapresnya. Dan seluruh partai pendukungnya yakni PKB, PAN, PPP, PKS, PDS, dan puluhan partai kecil lainnya, diakui atau tidak, sesungguhnya turut mendukung sikap SBY ini sebagai “Cheerleader”. Agar rakyat dalam Pemilu 2014 mendatang tidak bingung, alangkah indahnya jika semua parpol ini nanti meleburkan diri ke dalam Partai Demokrat. Bukankah Indomie, Sarimie, Salamie, dan sebagainya itu sama-sama dimiliki oleh satu perusahaan, Salim Group? (bersambung/rd)