Skenario Tata Kelola Global memaksakan agenda totaliter melalui rekayasa sosial dan kepatuhan ekonomi. Ini merupakan perpanjangan dari kerangka kebijakan neoliberal yang dikenakan pada negara-negara berkembang dan maju. Hal ini bisa dalam bentuk penghapusan hak menentukan nasib (bangsa) sendiri dan membangun nexus rezim pro-AS di seluruh dunia yang dikendalikan oleh “kedaulatan supranasional” (Pemerintah Dunia) yang terdiri dari lembaga keuangan terkemuka, miliarder dan yayasan filantropi mereka.
‘Melalui deklarasi keadaan darurat, semuanya bisa dikendalikan. Lihat lebih lanjut ‘Rockefeller Blueprint For Police State Triggered By Pandemic Exposed’. Dalam kasus apa pun, melalui media korporasi yang terus-menerus mempromosikan kepanikan, kebanyakan orang lebih memilih untuk ‘mencari selamat’ dengan menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap kebebasan mereka. Lihat ‘As Trump Eyes Restarting Economy, Nearly 3 in 4 Voters Support National Quarantine’.
“Skenario untuk Masa Depan Teknologi dan Area Pengembangan Internasional” dari Rockefeller Foundation 2010 yang diproduksi bersama dengan Global Business Monitoring Network, GBN) telah menguraikan fitur-fitur Tata Kelola Global dan tindakan yang harus diambil sehubungan dengan Pandemi Dunia. Rockefeller Foundation mengusulkan penggunaan perencanaan skenario sebagai sarana untuk melaksanakan “tata kelola global”.
Laporan ini membayangkan (hal. 18) simulasi skenario Lock Step termasuk jenis virus influenza global: “Lock Step: sebuah dunia kontrol pemerintah dari atas ke bawah yang lebih ketat dan kepemimpinan yang lebih otoriter, dengan inovasi yang terbatas dan meningkatnya tekanan warga pada tahun 2012, pandemi yang telah diantisipasi dunia selama bertahun-tahun akhirnya melanda. Tidak seperti H1N1 2009, jenis influenza baru ini – yang berasal dari angsa liar – sangat ganas dan mematikan. Bahkan negara-negara yang paling siap pandemi dengan cepat kewalahan ketika virus melanda seluruh dunia, yang menginfeksi hampir 20 persen dari populasi global dan membunuh 8 juta hanya dalam tujuh bulan”
Perlu dicatat bahwa simulasi ini dipertimbangkan pada tahun setelah Pandemi flu babi H1N1 2009, yang dinyatakan sebagai upaya yang benar-benar korup di bawah naungan WHO bekerjasama dengan Big Pharma yang mengembangkan program vaksin bernilai miliaran dolar.
“Pemerintah Dunia”
Instruksi dikirimkan ke pemerintah nasional di seluruh dunia. Kampanye ketakutan memainkan peran penting dalam membangun penerimaan dan kepatuhan sosial terhadap “kedaulatan supranasional dari elite intelektual dan bankir”.
Tata kelola global menetapkan konsensus yang kemudian dikenakan pada pemerintah nasional “berdaulat” di seluruh dunia, yang dinyatakan oleh David Rockefeller sebagai “penentuan nasib sendiri secara nasional yang dipraktikkan di abad-abad lalu”. Pada dasarnya, ini adalah bentuk perpanjangan dari “perubahan rezim”.
Banyak politisi dan pejabat harus diyakinkan dan atau disuap agar operasi ini berhasil. Ini adalah bentuk “memutar lengan politik” yang tidak sopan (sambil mengapresiasi kebijakan “jarak fisik” atau “jarak sosial”).
Operasi penutupan ini mempengaruhi jalur produksi dan pasokan barang dan jasa, kegiatan investasi, ekspor dan impor, perdagangan grosir dan eceran, pengeluaran konsumen, penutupan sekolah, perguruan tinggi dan universitas, lembaga penelitian, dan lain-lain.
Pada gilirannya semua ini menyebabkan pengangguran massal, kebangkrutan perusahaan kecil dan menengah, kehancuran daya beli masyarakat, meluasnya kemiskinan dan kelaparan di pelbagai negara.
Padahal, tujuan mendasar dari restrukturisasi ekonomi global berikut konsekuensinya adalah pengondisian konsentrasi terhadap kekayaan secara besar-besaran, destabilisasi terhadap usaha kecil dan menengah di semua bidang utama kegiatan ekonomi termasuk ekonomi jasa, pertanian dan manufaktur, merongrong hak-hak pekerja, mengacaukan pasar tenaga kerja, menekan upah (dan biaya tenaga kerja) di negara maju yang berpenghasilan tinggi serta di negara berkembang yang miskin.
Keputusan untuk menutup ekonomi global dengan tujuan “menyelamatkan nyawa manusia” tidak hanya diterima sebagai sarana untuk memerangi virus, tetapi juga ditopang oleh, terutama disinformasi media-media arus utama dan kampanye akan ketakutan dan kepanikan.(end/GlobalReview)
Penulis: Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute