Direktur Jenderal WHO mendapat dukungan dari Bill and Melinda Gates Foundation, Big Pharma dan World Economic Forum (WEF). Keputusan WHO untuk mendeklarasikan Global Emergency diambil di sela-sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss (21-24 Januari silam).
Satu hari kemudian (31 Januari) setelah peluncuran Global Emergency WHO, pemerintahan Trump mengumumkan bahwa AS akan menolak masuknya warga negara asing “yang telah melakukan perjalanan di Cina dalam 14 hari terakhir”. Hal ini segera memicu krisis terhadap transportasi udara, perdagangan Cina-AS serta industri pariwisata. Italia pun mengikutinya, membatalkan semua penerbangan ke Cina pada 31 Januari.
Tahap pertama disertai dengan gangguan hubungan perdagangan dengan Cina serta penutupan sebagian sektor manufaktur ekspor.
Sebuah kampanye segera diluncurkan terhadap Cina dan juga etnis Cina. The Economist melaporkan bahwa “Virus corona menyebarkan rasisme terhadap dan di antara etnis Cina.” Komunitas Cina di Inggris menghadapi rasisme karena wabah virus corona.
Menurut SCMP, “Komunitas Cina di luar negeri semakin menghadapi pelecehan rasis dan diskriminasi di tengah wabah virus corona. Beberapa orang etnis Cina yang tinggal di Inggris mengatakan mereka mengalami permusuhan yang meningkat karena virus mematikan yang berasal dari Cina.” Dan fenomena ini juga terjadi di seluruh AS.
Tahap Dua: Krisis Keuangan Dipicu oleh Ketakutan dan Manipulasi Pasar Saham
Krisis keuangan global terjadi pada bulan Februari yang memuncak dengan jatuhnya nilai pasar saham secara dramatis serta penurunan besar dalam nilai minyak mentah. Krisis ini dimanipulasi dan menjadi objek perdagangan orang dalam dan pengetahuan sebelumnya. Kampanye ketakutan memainkan peran utama dalam memporak-porandakan pasar saham. Pada bulan Februari, sekitar $ 6 triliun telah dihapuskan dari nilai pasar saham di seluruh dunia. Kehilangan massif tabungan pribadi telah terjadi belum lagi kegagalan dan kebangkrutan yang dialami oleh banyak perusahaan. Itu adalah bonanza bagi spekulan institusional termasuk dana lindung nilai perusahaan. Keruntuhan keuangan telah menyebabkan transfer kekayaan uang yang cukup besar ke dalam kantong segelintir lembaga keuangan.
Tahap Tiga: Lockdown (Penguncian) dan Penutupan Ekonomi Global
Krisis keuangan pada bulan Februari segera diikuti oleh kebijakan lockdown (penguncian) pada awal Maret. Penguncian dan pengurungan yang didukung oleh rekayasa sosial sangat berperan dalam restrukturisasi ekonomi global. Diterapkan hampir secara bersamaan di sejumlah besar negara, penguncian tersebut telah memicu penutupan ekonomi nasional, belum lagi dengan terjadinya destabilisasi perdagangan, transportasi, dan kegiatan investasi.
Pandemi tersebut merupakan tindakan perang ekonomi melawan kemanusiaan yang telah mengakibatkan kemiskinan global dan pengangguran massal.
Para politisi pun terkesan bungkam karena pada prinsipnya kebijakan penerapan lockdown (penguncian) maupun penutupan ekonomi nasional bukan merupakan solusi bagi krisis kesehatan masyarakat.
Siapa yang Mengontrol Politisi? Mengapa politisi terkesan bungkam?
Mereka tidak lain adalah instrumen politik dari lembaga keuangan termasuk para “dermawan ultra-kaya”. Tugas mereka adalah untuk melaksanakan proyek restrukturisasi ekonomi global yang terdiri dari pembekuan kegiatan ekonomi di seluruh dunia.
Dalam kasus Demokrat di AS, mereka sebagian besar khawatir menentang pembukaan kembali ekonomi AS sebagai bagian dari kampanye pemilu 2020. Penentangan untuk membuka kembali ekonomi nasional dan global ini didukung oleh “Uang Besar”.
Apakah ini oportunisme atau kebodohan. Di semua wilayah utama di dunia, politisi telah dikendalikan oleh kepentingan keuangan yang kuat untuk mempertahankan kebijakan penguncian dan mencegah pembukaan kembali ekonomi nasional.