Eramuslim.com – Krisis COVID-19 ditandai oleh “darurat” kesehatan masyarakat di bawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang digunakan sebagai dalih dan pembenaran untuk memicu proses restrukturisasi ekonomi, sosial dan politik di seluruh dunia.
Rekayasa sosial sedang diterapkan. Pemerintah ditekan untuk memperluas lockdown (penguncian), meskipun konsekuensi ekonomi dan sosialnya menghancurkan. Peristiwa semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia.
Betapa banyak ilmuwan juga harus terlibat dalam mendukung penguncian karena dianggap sebagai jalan keluar atau solusi dalam mengatasi darurat kesehatan global.
Pelbagai upaya pun dilakukan dengan mendokumentasikan secara luas, perkiraan penyakit akibat COVID-19 termasuk kematian yang juga dimanipulasi secara luas. Lebih lanjut silahkan baca ulasan penulis Data Covid-19 Meragukan, Kepanikan Meyakinkan.
Pada gilirannya, warga masyarakat pun harus mematuhi aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mereka. Mengapa? Karena mereka takut?
Penutupan ekonomi nasional yang diterapkan di seluruh dunia pasti akan berdampak pada meledaknya kemiskinan, pengangguran massal dan peningkatan angka kematian. Semua ini tidak lain adalah tindakan perang ekonomi.
Tahap Satu: Perang Perdagangan melawan Cina
Pada 30 Januari 2020, Direktur Jenderal WHO menetapkan bahwa wabah COVID-19 merupakan Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC). Keputusan diambil berdasarkan 150 kasus yang dikonfirmasi di luar Cina, Kasus pertama penularan orang ke orang: 6 kasus di AS, 3 kasus di Kanada, 2 di Inggris.