Kamera dan perekam audio kini ditemui di setiap jalan dan memantau pintu banyak rumah.
Keluarga diawasi
Pejabat pemerintah juga mulai melakukan “kunjungan rumah” rutin di Xinjiang di mana “keluarga diharuskan untuk memberikan informasi kepada petugas tentang kehidupan dan pandangan politik mereka, dan menjadi sasaran indoktrinasi politik”, menurut laporan Human Rights Watch dari Mei tahun lalu.
Aileen, 37, seorang Muslim Hui dari Provinsi Gansu, mengatakan para pejabat secara rutin menggeledah rumah dan tinggal bersama keluarga di Xinjiang selama sekitar satu minggu “untuk memastikan tidak ada praktik keagamaan di dalam rumah itu”.
Jika barang-barang seperti sajadah atau buku-buku keagamaan ditemukan, mereka biasanya ditahan, kata Aileen yang meminta agar dikutip nama depannya saja untuk melindungi anggota keluarga yang masih tinggal di China.
“Kebanyakan orang tak lagi menyimpan Al-Quran di rumah mereka,” katanya.
Selain “tinggal di rumah”, para pejabat lokal secara teratur mengunjungi keluarga-keluarga dengan mendadak untuk memeriksa mereka tidak berpuasa atau berdoa, kata Erkin.
Ceramah tentang “nilai-nilai inti sosialis” juga sering diadakan untuk “menyapa Ramadhan”, menurut sebuah artikel dari media pemerintah China, Global Times, yang diterbitkan tahun lalu.
Erkin menggambarkan satu ceramah seperti itu di mana seorang pejabat pemerintah menginstruksikan orang untuk tidak menggunakan sapaan khas Muslim seperti Assalamualaikum, yang berarti damai besertamu.
Sasaran utama pengawasan dan penahanan adalah etnis Uyghur, salah satu dari beberapa minoritas Muslim yang tinggal di China yang telah berjuang untuk kemerdekaan dari China di masa lalu.
Meski ada pengawasan dan beberapa pembatasan pada praktik keagamaan di wilayah lain di China, Aileen, yang sekarang menjadi penduduk Australia, mengatakan keluarganya di Gansu masih diizinkan untuk berpuasa dan berdoa.
Tetapi di Provinsi Xinjiang, semua Muslim telah mengalami penahanan dan larangan praktik keagamaan.
Kampanye balas dendam
Di Xinjiang, Erkin mengatakan ancaman penangkapan telah menciptakan iklim ketakutan di mana orang-orang “menyensor diri sendiri” dari aktivitas keagamaan dan terlalu takut untuk berpuasa di rumah mereka sendiri.
Aktivis di seluruh dunia telah menyerukan gerakan #FastFromChina sebagai balasan atas larangan itu, menyerukan umat Islam dan pendukung hak asasi manusia untuk menahan diri dari membeli produk-produk China untuk mendukung minoritas Muslim China yang tertindas.
“China adalah satu-satunya tempat di dunia di mana umat Islam tidak boleh berpuasa,” kata sebuah postingan di situs Save Uighur yang mengumumkan kampanye tersebut.
“Kami menyerukan kepada orang-orang yang peduli pada kebebasan beragama untuk tidak membeli produk China selama bulan Ramadhan.”
“Ramadhan adalah tentang mengurangi konsumsi dan berbagi lebih banyak. Jadi mari kita berpuasa dari produk China sebagai solidaritas untuk mereka yang tidak bisa berpuasa di China.”
Postingan Twitter dan posting Facebook yang berisi tagar #FastFromChina telah diunggah dari banyak negara termasuk AS, Australia, Inggris, dan negara-negara di seluruh Timur Tengah.
“Ramadhan yang akan datang ini, jangan hanya berpuasa dari makanan dan air, tetapi juga dari produk-produk buatan China,” tulis Aydin Anwar, warga Uyghur-Amerika di Twitter.
“Ini akan menjadi langkah besar ke depan dalam menantang genosida China terhadap warga Uyghur dan bangsa Altaik (yang banyak mendiami wilayah Asia Tengah dan Barat) lainnya.” [tc]