Ini hari Senin (4/2). Dua hari sejak Jumat tak ada hujan bom dan bazooka. Hanya tembakan sesekali terdengar. Saya tak mengerti apakah para tentera itu telah meghabiskan amunisi di Jumat lalu. Ataukah mereka cuti di Sabtu dan Ahad karena menerapkan lima hari jam kerja. Semua itu tak bisa dikonfirmasi sebab tak ada kontak yang kumiliki dari tentara Basyar di depan sana.
Pagi ini cuaca sangat cerah dan terang. Akhir-akhir ini lebih sering mendung dan hujan. Cuaca cerah kurang begitu disukai disini sebab Tentara Basyar biasa mengirimkan birmil dengan helikopter. Kawan-kawan HASI menyiapkan sarapan telur dicampur sisa-sisa bumbu rendang sementara saya menulis laporan ke kantor HASI di Jakarta. Laporan selesai kutulis seiring selesainya kawan-kawan menyiapkan menu. Kami melahap nasi di teras belakang tempat kami menjemur pakaian.
Celana Abu Zufar yang bolong terkena serpihan mortar
Saya meminta izin keluar basement untuk mencari signal mengirimkan laporan. Baru selesai kukirim terdengar ledakan dahsyat di kejauhan sana. Penjaga masyfa mencari saya dengan Klasinkov di tangan kanan. Segera saya masuk kembali ke basement dan berbaring di perapian dalam cahaya yang temaram. Rasa kantuk sebab kurang tidur sejak semalam tak bisa ditahan lagi. Saya tertidur pulas. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat memekakkan telinga. Gelagar bom bertubi-tubi kembali menggila seperti Jumat lalu. Siang ini, gelegar-gelegar itu terasa sangat dekat di samping rumah. Apakah Senin adalah hari Tentara Basyar mengawali kerja? Saya tidak tau.
Saya berusaha menghitung berapa kali ledakan itu terjadi. Usaha itu sia-sia sebab hampir setiap 15 detik gelegar itu selalu hadir. Kami berzikir di dalam hati. Dokter Abu Saad mengambil mushaf untuk mengaji. Satu jam berlalu dan gema bom itu tak kunjung berhenti. Siang ini kami mendapat pelajaran penting dari kawan-kawan di sini. Jika gelegar itu dimulai dengan desisan panjang, itu artinya berasal dari mortar. Jika gelegar sangat kuat tanpa desisan, itu adalah bom dari moncong-moncong tank dan meriam di depan sana. “Jika kondisi memburuk, kita berpindah ke ruang depan..” Kata Kamal yang selalu setia menemani kami.
“Tenang.., serangan tank dan mortar tidaklah membahayakan…” kata Kamal. Menurutnya, yang membahayakan adalah serangan birmil. Semula saya menduga bahwa sebuah birmil dibawa oleh sebuah helicopter. Kembali siang ini kami terkejut saat dijelaskan bahwa sebuah heli biasa membawa belasan birmil. “Birmil biasa dijejaskan pakai kaki..” kata pejuang yang pernah berhasil menghancurkan tank itu. Bagi penduduk di sini situasi semacam ini seperti biasa. Mereka bisa bergurau kendati kondisi menurut kita sangatlah genting. Inikah ciri bangsa pilihan? Bangsa yang Allah siapkan untuk menjaga Syam seperti dalam nubuwat? Pak dokter mengumandangkan adzan di tengah serangan yang terus terjadi.
Saya bertanya di dalam hati. Sampai kapan kondisi semacam ini akan terjadi? Apakah tidak letih berperang dalam waktu sepanjang ini? Apakah Basyar akan tetap bertahan sementara para petinggi pasukannya telah meninggalkannya? Agaknya ini jenis pertanyaan yang naif. Kendati bukan kota utama di Suriah, Lattakia adalah basis Nusairiyah sejak dulu kala. Penduduk di sini yakin bahwa Basyar akan mempertahankan mati-matian wilayah ini. Di pegunungan-pegunungan Lattakiah inilah bangsa Nusairiy berkembang biak selama berabad-abad. Bagi mereka, Lattakia adalah kota historis ideologis.
Dalam perjalanan kemaren bersama Dr Romi, sembari mengirimkan kotak obat-obatan ke sebuah perkampungan terpencil, saya bertanya kepada beliau, “Duktuur, kenapa disebut Jabal Aqrod…?” Ia menjawab, “Karena ini adalah pegunungan yang dinisbahkan kepada suku Kurdi. Seperti disebut dalam sejarah, dulu pegunungan ini pernah dikuasai Solahuddin Al-Ayyubi dan balatentara-nya yang Kurdi. Di pegunungan inilah dahulu kelompok Nusairiyah pernah disembelih oleh sebab membantu tentara salib. Kalian tau, di daerah ini banyak dihuni suku Arab dan bukan suku Kurdi. Tapi itulah bentuk penghormatan terhadap Solahuddin.“ Urai Dr Romi.
Sebuah penjelasan yang menarik. Dr Romi berhasil mengembalikan memori dari makalah-makalah yang pernah kubaca sebelumnya. Sejarah Nusairiyah memang lekat dengan pengkhianatan terhadap kaum muslim. Saat bangsa Tartar menyerbu Khilafah Abbasiyah, Nusairiyah menjadi sekutu. Mereka menjadi pelindung bangsa Tartar di perbukitan untuk kembali menyusun kekuatan. Tak heran, ketika itu Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Nusairiyah Qoromithoh Bathiniyah lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani.
Saat Perancis menjajah negeri ini, kembali kelompok ini membangun sekutu. Perancis bahkan menyebut perbukitan ini sebagai bukit alawiyah; sejenis penghormatan oleh sebab mereka sekutu setia. Disebut Alawiyah sebab kultus kelompok ini yang menuhankan Ali RA. Kelompok ini dipersenjati Perancis dan berhasil merebut kekuasaan melalui jalan kudeta dalam proses yang berliku. Minoritas inilah yang kini menguasai Suriah dengan tangan besi. Bisa dibayangkan betapa perbukitan itu akan menjadi pertaruhan bagi kelompok Basyar yang alawiyah nusairiyah. Dua hari dalam sepinya serangan bom, kami berjalan-jalan di bukit-bukit bersejarah ini.
Seiring usainya kami menunaikan shalat dzuhur dan ashar Mustofa dan Kamal menyiapkan makan siang. Gelegar bom tak lagi terdengar kecuali hanya sesekali. Abu Zufar, penerjemah HASI mengambil celana yang dijemur di teras belakang tempat kami biasa sarapan. Dia terkejut, saat ia menemukan celananya berlubang tertembus pecahan besi. Kami meyakini itu akibat pecahan bom di belakang rumah. Siang ini celana Abu Zufar mendapatkan ‘luka’. Beliau tak berkenan celananya disebut ‘syahid’ sebab Ia bermaksud menjahit kembali dan memakainya. Semoga kelak bisa menjadi saksi di hari kiamat.
Belum usai aku tulis berita ini, Mustofa (paramedis) menggedor pintu dengan tergesa. “Buka kaca, ada pesawat berkeliaran di atas…!” perintahnya. Kami segera berkumpul bersama di ruang perapian. Muhandis segera meminta kami mengambil passport dan melekatkan di pinggang. Dan Abu Zufar mengambil penutup telinga hadiah dari pesawat untuk pelindung. Sementara dokter Abu Saad tetap dalam tilawahnya. Hasbunallah wani’mal wakiil.
Abu Zahra, Tim Relawan Kelima HASI untuk Suriah