Eramuslim – Setelah 16 terguling akibat invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan pada tahun 2001, pejuang Taliban tetap teguh berperang dan kembali menguasai sejumlah wilayah secara signifikan. Hingga kini, Afghanistan masih terjerumus dalam konflik saudara berkepanjangan, termasuk dalam beberapa bulan terakhir dimana kita menyaksikan serangkaian peperangan.
Di sejumlah kota penting di bagian selatan yang dikuasai Taliban, wartawan BBC Auliya Atrafi diundang untuk melakukan liputan empat hari di propinsi Helmand. Melalui perjalanan jurnalistik ini, kita bisa menyaksikan secuil kisah sesungguhnya bagaimana ritme dan pola kehidupan masyarakat berlangsung di bawah kekuasaan Taliban.
Kota Sangin menjadi saksi sejarah betapa ganasnya agresor asing yang ingin menaklukkan Muslim Afghanistan. Sekitar dua puluhan lebih pria terlihat tengah duduk bersila di dalam sebuah kompleks besar yang dinding bangunannya terbuat dari lumpur. Mereka adalah pasukan khusus Taliban dari Unit Merah.
Dengan tenang, mereka duduk sambil mendengarkan cerita dari komandan mereka, Mullah Taqi, tentang kisah-kisah perang. Beberapa di antaranya terlihat menenteng senapan serbu M4 buatan Amerika. Senjata-senjata keluaran pabrikan Colt dan Bushmaster yang dilengkapi dengan teropong malam “google night-vision” itu menjadi salah satu senjata utama Taliban hingga berhasil merebut dan menguasai hampir 85% propinsi Helmand dari tangan pasukan pemerintah Kabul yang senjatanya kalah canggih.
Tantangan Baru
Berbagai kemenangan di medan tempur telah membawa para pemimpin Taliban pada tantangan baru berikutnya yang tidak terduga. Masyarakat yang mereka atur saat ini pernah merasakan hidup di bawah kekuasaan pemerintah boneka pro-Barat dengan berbagai fasilitas dan layanan publik yang diterima selama lebih dari satu dekade. Sekolah-sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum lainnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
Menjadi fenomena menarik bagaimana sebuah kelompok insurjensi seperti Taliban yang selama ini secara total fokus merebut wilayah kemudian berubah dan berkembang menjadi satu entitas yang mampu menjalankan itu semua.
Membuat rencana kunjungan ke wilayah Taliban memerlukan waktu berbulan-bulan. Ini adalah yang pertama kali sejak beberapa tahun sebelumnya seorang wartawan media internasional memiliki semacam akses yang terjamin keamanannya. Perjalanan menyeberang garis depan di Gereshk dilakukan pada Mei 2017 dengan sepeda motor mengikuti pemandu jalan seorang pemuda. Rute perjalanan melewati jalan raya utama Kabul-Herat menuju Kandahar.
Ketika akan melewati pos pemeriksaan tentara nasional Afghan, pemuda itu tiba-tiba berbelok ke kiri menjauh dari jalan raya menuju perkampungan yang rumah-rumah warganya saling berpencar. Ia menyerahkan wartawan BBC yang diundang kepada dua penjaga pos Taliban yang sedang bergantian jadwal jaga. Salah seorang pejuang Taliban duduk bersama rombongan di mobil, sementara lainnya bersepeda motor menuju area Zanbulai.
Di sana, Mullah Taqi sedang menunggu. Ia adalah komandan pasukan khusus Taliban, dan ia sedang berdiri di tengah pasukannya yang sedang membersihkan senjata-senjata canggih buatan musuh mereka. Di sepanjang kunjungan itu, wartawan BBC ditemani oleh tim media dari Taliban yang menjadi mitra sekaligus pengawas terhadap segala yang mereka lihat.
Sidak di Pasar Sangin
Perjumpaan pertama kami dengan “pemerintah” Taliban terjadi di sebuah pasar di Sangin. Di distrik inilah pertempuran sengit sering terjadi selama lebih dari satu dekade. Ratusan hingga ribuan tentara Inggris, AS, dan pasukan sekutu lokal Afghan mereka tewas di daerah ini hingga akhirnya jatuh ke tangan Taliban pada bulan Maret 2017.
Pasar lama Sangin yang asli sudah hancur rata dengan tanah saat terjadi pertempuran. Kami berjalan melewati sebuah tempat yang dijadikan sebagai pasar sementara. Terpal dan kotak-kotak kardus terlihat ada di setiap sudut pasar. Di dekat sebuah kedai makan kami melihat dua orang yang sepertinya sedang terlibat adu mulut.
“Saya ngga bisa baca!” kata seorang penjaga toko bernama Haji Saifullah. “Jadi bagaimana saya tahu kalau biskuit-biskuit itu ternyata sudah kadaluwarsa?” katanya lagi sambil menggeser-geser surban di kepalanya. Terlihat sekali ia sedang khawatir dan gugup.
Di depannya, berdiri kepala distrik Sangin bernama Noor Muhammad. Ia menjadi kepanjangan tangan Taliban. Noor Muhammad memerintahkan supaya Haji Saifullah dipenjara tiga hari plus membayar denda karena menjual biskuit kadaluwarsa di pasar.
Daftar inspeksi Noor Muhammad berikutnya adalah memeriksa kontainer minyak apakah takarannya sudah benar dan sesuai ukuran 1 galon yang dijanjikan. Agenda selanjutnya, adalah menguji orang-orang yang mengaku sebagai dokter, terutama kepada orang-orang yang sudah dicurigai sebelumnya berbohong.
Musa Qala, Ibukota Taliban
Setelah melihat Sangin, kami menuju ke Musa Qala yang secara de facto menjadi ibukota Taliban. Tidak lama setelah tiba di kota itu, kami berhenti di sebuah pasar semi-permanen di atas sungai kering yang menjual banyak peralatan dan pakaian untuk bepergian/travelling.
Selain itu, Musa Qala juga terkenal sebagai jalur perdagangan opium di samping merupakan jalur perdagangan utama di distrik tersebut. Para pedagang datang ke sini dari berbagai tempat di daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan. Di pasar inilah kita bisa membeli berbagai macam barang seperti sepeda motor, sapi, dan es krim. Sementara barang-barang komoditas konvensional seperti amunisi malah sedikit.
Satu butir peluru AK-47 dijual 25 sen. Sementara peluru senapan mesin Rusia yang biasanya dijual 40 sen per biji, sekarang harganya turun menjadi 15 sen saja. Menurut para penjual, harganya terjun bebas karena barangnya banyak sekali dan peluru-peluru senapan mesin itu diperoleh “secara gratis” dari pasukan keamanan Afghan yang kabur. (BBC/Yasin/Ram)