Eramuslim – Setelah melihat hubungan aneh antara Taliban-Kabul dalam menyelenggarakan pendidikan di wilayah provinsi Helmand yang kini dikuasai para pejuang Afghanistan, wartawan BBC Auliya Atrafi diajak berkeliling bagaimana sistem kesehatan berjalan di Musa Qala.
Mengunjungi Rumah Sakit
Kami berkunjung ke sebuah rumah sakit di tingkat distrik. Dan sebagaimana “kasus” di sekolah sebelumnya, rumah sakit juga dibiayai oleh pemerintah Kabul, namun pengoperasiannya tetap diselenggarakan oleh pejuang Taliban.
Minimnya fasilitas kesehatan mendasar di wilayah yang dikuasai pejuang Taliban, menyebabkan 1 pusat kesehatan harus melayani 120.000 orang. Ini diperparah dengan tidak adanya satu orang pun dokter wanita, termasuk dokter spesialis anak. Ruang radiologi tidak bisa melayani foto sinar X ke organ dada. Untuk melayani perawatan dan pemeriksaan kesehatan bagi wanita, Taliban membangun sebuah fasilitas khusus di sebuah bangunan sebelahnya yang dioperasikan para staf wanita.
Menurut seorang dokter, adanya dualisme sistem ini menyebabkan tidak adanya tanggung jawab dan membuka peluang korupsi. “Gaji saya belum dibayar selama enam bulan terakhir. Bukan hanya saya, tetapi juga seluruh staf rumah sakit,” katanya.
“Tim pengawas pemerintah menulis program di atas kertas yang tidak sesuai dengan kenyataan. Persediaan obat-obatan kami untuk periode tiga bulan sudah habis selama satu setengah bulan lebih sedikit. Hal itu karena terkadang Taliban datang dan meminta kami berbagi obat-obatan medis untuk mereka.”
Kami bertanya kepada pengawas kesehatan dari Taliban yang bernama Attaullah apakah bisa melakukan wawancara dengan seorang perawat wanita, namun kami tidak diizinkan. Suaminya (lalu) berkata kepadanya bahwa ia tidak keberatan dengan wawancara tersebut, namun Attaullah mengatakan, “Itu hak anda untuk membolehkan wawancara, dan tanggung jawab saya adalah menghentikannya. Lalu apa bedanya antara kita dengan pemerintah jika kita mengijinkan wawancara dengan perempuan?” katanya.
Selama empat hari berada di wilayah kekuasaan Taliban, saya hanya melihat perempuan ada di klinik dan mereka diantar-jemput oleh para lelaki dari kerabat mereka. Namun secara umum kaum pria di sini selalunya lebih memilih perempuan berada di rumah dan tidak nampak di area-area publik. Bahkan seandainya Taliban tidak ada pun, kemungkinan besar situasi di sini akan tetap seperti itu.
Sejumlah aktivitas dibatasi
Di Musa Qala, menggunakan HP dan internet dilarang karena alasan keamanan dan juga karena alasan syar’i. Hal itu berlaku juga bagi guide Taliban kami yang berkomunikasi via walkie-talkie. Membuat film dan memainkan alat musik juga dilarang. Seorang pria muda bercerita kepada kami bahwa ia pernah dihukum cambuk 40 kali karena menonton film Bollywood India.
Taliban melarang dan menindak keras tradisi “bachabaze” yang berisi pesta tarian dengan melibatkan penari anak laki-laki remaja yang selalunya berakhir dengan pelecehan seksual. Taliban juga menindak keras homoseksualitas.
Ada sejumlah “kontradiksi” yang belum kami pahami. Misalnya, kami tidak dibolehkan menonton atau membuat film. Dan kami berlalu melewati sebuah papan reklame yang menampilkan wanita Barat dalam iklan klinik gigi. Sebuah gambaran yang sangat berbeda dengan masa lalu ketika Taliban masih melarang gambar-gambar semacam ini.
Meskipun internet dilarang, tapi kami justru menemukan adanya wi-fi hotspot yang menyediakan koneksi internet ke dunia luar. Beberapa penggemar sinetron Turki dan India bahkan memiliki televisi yang terhubung dengan parabola kecil.
Saya mencoba bertanya pada seorang remaja, “Apakah anda tidak khawatir Taliban akan tahu ini?” “Mereka tahu soal TV kami dan juga tahu ada wi-fi”, katanya. “Tapi saya kira mereka hanya mengamati dan menunggu apa yang akan terjadi”.
Selama kunjungan kami, kami menyadari bahwa Taliban memperlakukan kami dengan hati-hati, penuh perhatian, dan berusaha memberikan kesan yang positif. Sangin dan Musa Qala sama-sama penting bagi mereka, sama pentingnya dengan membuat masyarakat supaya tetap merasa nyaman. Namun ditempat lain kami mendengar Taliban menerapkan aturan dengan lebih ketat.
Bagi Taliban, memulai adaptasi dengan wajah modernitas nampaknya menjadi dilema tersendiri antara menerimanya dengan konskuensi kehilangan kekuasaan, legitimasi agama, atau menolaknya dengan konskuensi terasing.
Seorang kepala sekolah yang jenggotnya sudah memutih mengatakan, “Taliban melihat segala sesuatu dari sudut pandang perang, dan mereka melihat bahwa satu-satunya tujuan hidup mereka adalah menang perang.”
Saya mengingatkan padanya bahwa Taliban juga punya kultur ketaatan dan disiplin, jadi apakah si kepala sekolah itu tidak berpikir bahwa Taliban akan mampu mengarahkan obsesi perang mereka menjadi sebuah seni politik?
Suatu malam, kami berencana akan makan bersama dengan sejumlah pemimpin Taliban untuk berdiskusi tema-tema seputar ini. Pada waktunya, seorang pemimpin Taliban berusaha meyakinkan manfaat dan keuntungan hidup di bawah Taliban dengan membandingkannya dengan kegagalan pemerintah Afghanistan. Yang mengagetkan saya bahwa dunia yang ingin mereka ciptakan terlalu absolut bagi masyarakat manusia.
Saya mencoba mendebat bahwa situasi masyarakat kacau balau, kompleks, dan selalu berada dalam masa transisi. Maka bisa dibayangkan seberapa besar peluang berhasil setiap pemerintahan yang berusaha atau mencoba mengatur mereka dengan sebuah kerangka kerja yang sudah mapan.
Berbadan kecil dengan jenggot panjang dan bermata biru, beliau adalah pemimpin Taliban bernama Musavir Sahib. Dengan optimis mengatakan, “Sistem pemerintahan kami berdasarkan pada kitab suci. Ini adalah solusi terbaik bagi seluruh manusia”.
“Orang Afghan adalah masyarakat yang mudah menyesuaikan diri. Ketika pertama kali kami memerintah Afghanistan, dengan cepat masyarakat berpakaian seperti cara kami berpakaian. Dan ketika Amerika datang, mereka mulai berpakaian seperti orang-orang Amerika. Jadi, yakinlah mereka akan kembali mengadopsi pemerintahan kami lagi.”
Tantangan baru Taliban
Kembali ke wilayah yang dikuasai pemerintah, saya menyadari bahwa menggambarkan kelompok insurjensi itu tidak mudah dan penuh dengan hal-hal yang “kontradiktif” yang masih belum ditemukan jawabannya. Barangkali karena “pemerintahan” Taliban itu baru eksis beberapa bulan setelah wilayah tersebut berhasil mereka rebut. Namun secara umum Taliban sudah berubah dengan signifikan, sementara di waktu yang sama mereka terjebak dengan masa lalu mereka. Di satu sisi, mereka merasa harus beradaptasi dengan dunia modern; di sisi lain mereka menganggap sistem mereka merupakan sistem pemerintahan terbaik. Ini termasuk hal-hal yang sulit dipahami oleh media Barat.
Di area-area yang mereka kuasai, mereka mencoba memberikan perdamaian. Namun di berbagai wilayah lain mereka terus melancarkan serangan-serangan bom mematikan. Visi dan tujuan mereka mendirikan semacam negara Islam yang betul-betul Islami tidak pernah berubah, dan mereka terus saja bertempur karena menganggap diri mereka adalah pemenang.
Tetapi mereka kini menghadapi sebuah tantangan baru. Di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, masyarakatnya sekarang sangat menginginkan adanya perubahan dan perbaikan taraf hidup seperti soal kesehatan dan listrik. Itu adalah sebuah warisan abadi bernilai milyaran dolar yang dikucurkan bersamaan dengan kehadiran pasukan asing untuk menjajah kembali Afghanistan selama kurun waktu belasan tahun pasca tragedi serangan WTC. Bagaimana Taliban akan mampu menghadapi tantangan itu? (BBC/Yasin/Ram)