Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko Suryo, menilai sikap yang diperlihatkan Bung Tomo sejatinya bukan rasialis dan anti-Tionghoa. Sebagai pejuang, Bung Tomo hanya ingin agar segenap orang berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Karena itu, ketika ada kebijakan penataan kewarganegaraan dengan strategi hukum pada 1950-an, Bung Tomo termasuk yang mendesak pemerintah menyatakan secara tegas kepada siapa pun supaya memilih, tidak peduli itu Tionghoa, India, atau Arab. “Kalau berada di Indonesia, ya harus memiliki patriotisme, nasionalisme, dan kecintaan pada Tanah Air. Jadi posisi Bung Tomo ini menegaskan dan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Djoko.
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, juga menegaskan ayahnya semasa hidup punya banyak sahabat orang Tionghoa. Apa yang disampaikan dalam pidato dan surat terbuka itu, kata Bambang, maksudnya agar keturunan mana pun yang tinggal dan menjadi warga Indonesia harus menjunjung dan memiliki nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air, dan patriotisme kepada negeri ini.
“Jangan mendua. Dulu, pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia kan terbelah-belah. Ada yang diprioritaskan dan mendapat perlakuan berbeda, seperti warga Eropa, keturunan orang Timur Tengah. Dan masyarakat Indonesia disebut pribumi. Yang diharapkan Bung Tomo, kalau sudah berada di Indonesia, ya tidak boleh mendua, apalagi mendukung penjajah,” ujarnya.(jk/lingkarannews)