"Rakyat Israel terkejut dan turut merasakan kesedihan rakyat Norwegia atas pembunuhan keji terhadap warga sipil dan kaum muda yang tak berdosa. Hati kami menyertai keluarga yang berduka yang telah kehilangan anggota keluarga yang paling mereka sayang. Kami mendoakan agar lekas sembuh bagi korban yang terluka."
Ucapan diatas keluar dari mulut Presiden Israel Shimon Perez sesaat setelah terjadinya bom Oslo, Norwegia. Israel mengaku terkejut atas serangan teror yang memuakkan dan telah merenggut nyawa manusia tidak berdosa di tempat yang pernah menjadi saksi “perdamaian” negaranya dengan Palestina medio 1993 silam itu.
“Tidak ada apapun juga yang dapat membenarkan kekerasan secara buas seperti itu, dan kami dengan sepenuh hati mengutuk aksi brutal itu.” kata Shimon Perez
Israel juga mengaku memiliki solidaritas dengan masyarakat Norwegia. Hati mereka bersama pemerintah Norwegia dalam ujian bagi rakyat Skandinavia itu. Mereka sepenuhnya percaya bahwa otoritas Norwegia dapat menyeret pelaku peledakan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
Namun, kita telah ketahui bersama Israel adalah Negara yang memiliki seribu wajah untuk menutupi reputasinya selama ini. Caranya biasanya lewat dua hal: memakai orang lain demi mengentaskan misi pribadinya atau kalau hal itu tidak berjalan, maka mereka akan memanipulasi realita seakan-akan Israel bersih dari tindakan kejinya. Dan dalam kasus Oslo, Israel memainkan kedua-duanya.
Dalam konteks pertama, kita akan melihat bagaimana cara Israel memunculkan nama Breivik dalam tragedi Oslo. Pada dasarnya, dalam aksi yang menewaskan 90 lebih manusia itu, Breivik tidak bermain sendiri. Ia hanyalah alat yang dimainkan Israel dalam dua hal. Pertama, mereka merasa perlawanan rakyat Norwegia terhadap keberadaan Israel selama ini tidak bisa “diamankan” oleh otoritas Norwegia, lebih-lebih Eropa. Keberadaan Jaringan Eropa untuk membela hak-hak tahanan Palestina (UFREE) yang berpusat di Oslo pun telah membuat gerah Israel selama ini.
Kedua, Israel menyadari. Situasi perkembangan muslim di Eropa semakin lama semakin meningkat. Jika ini tidak terbendung, maka akan menjadi bom waktu bagi Israel. Maka itu tidak heran bahwa mayoritas yang tewas di Pulau Norwegia adalah umat muslim.
Bloger ternama asal Amerika yang juga analis Militer Amerika Serikat, Wayne Madsen, telah menulis sebuah laporan yang menemukan keterkaitan bom Oslo dengan jaringan Mossad. Kita bisa melihat sedikit ringkasan dokumen itu jika menglik judul “Link Between Breivik and Israeli Mossad”. Madsen mensinyalir bahwa Pam Geller dan Richard Pipes adalah dua propagandis Yahudi yang berada dibalik “nama” Breivik dalam musibah Oslo. Jika kita mendalami gerakan Intelejen Yahudi, maka nama Geller dan Richard sudah tidak asing lagi dikenal sebagai duo ahli dalam dunia spionase Zionis. Mereka berdualah yang selama ini bekerja membuat sandi untuk memuluskan aksi-aksi intelejen Israel dalam mematai musuh-musuhnya.
Richard Pipes sendiri selama ini dikenal sebagai akademisi Amerika yang bergelut dalam dunia Intelejen. Pada tahun 1976, ia pernah diberikan amanah untuk menjadi Kepala Tim B, yang diorganisir CIA untuk menganalisis kapasitas strategis dan tujuan dari kepemimpinan militer dan politik Soviet.
Tokoh Yahudi jebolan Harvard ini pun memiliki misi khusus dalam membangun jaringan Zionis internasional lewat jalur intelejen. Madsen sendiri menemukan bahwa Geller dan Richard telah membangun jaringan antara Mossad dan Breivik. Namun tidak butuh waktu lama, Madsen kemudian meralat perkataannya untuk menambahkan bukti baru: bahwa bukan saja Mossad yang bermain dalam kejadian Oslo, tapi sebuah triangle besar bernama Mossad, CIA, dan NATO.
Sekarang kita akan masuk ke cara kedua, bagaimana Israel mencoba memanipulasi realita untuk menutupi perannya selama ini. Jalur ini akan sangat efektif dengan memainkan peran media. AS tentunya berada pada pihak berkepentingan dalam melindungi reputasi koleganya itu. Hal ini bisa tertangkap dari bagaimana cara Obama menyikapi Bom Oslo. Bahasa Obama yang mengatakan bahwa bom Oslo hanyalah serang lokal bukan internasional bisa terjemahkan sebagai upayanya menutupi peran signifikan Israel dalam hal ini. Maka media-media Amerika akan menjadi “wasilah” efektif untuk memulainya. Kita masih ingat bagaimana The Sun langsung membuat headline dengan judul “Al Qaeda Massacres 9/11 Norway” pasca serangan Breivik yang membunuh hampir seratus nyawa manusia itu. Sebuah judul yang tentunya kita rasakan bukan saja sebagai bagian dari provokasi tapi sudah jatuh pada kategori stigma. Ya stigma bahwa Islam adalah terdakwa bagi teror Eropa tanpa harus dimintai buktinya.
Nah, ini baru satu kasus. Dulu saat perang AS-Irak sedang hangat-hangatnya, CIA pernah memanipulasi sejumlah dokumen yang mereka peroleh pada sejumlah kantor intelejen Irak, di Baghdad. Dokumen itu kemudian telah dipalsukan untuk dibagikan kepada pers, guna mencapai keinginan politik AS.
Wayne Madsen dalam keterangannya yang disebarluaskan oleh Online Journal (30/4/2003) mengatakan, "AS memberikan dokumen ini kepada sejumlah wartawan media massa yang telah dipilih dan orang-orang yang bekerja untuk kepentingan propaganda bohongnya agar memperkuat tuduhannya bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah massal serta keterkaitan mantan Presiden Irak Saddam Husein dengan pimpinan Tanzim Al Qaidah Usamah bin Laden.”
Ia menambahkan bahwa di antara media massa yang dibagikan isi dokumen itu adalah Daily Telegraph Inggris. Harian itu mengirimkan wartawannya yang bernama Inigo Gilmore ke Baghdad. Dalam laporannya yang dipublikasikan pada 27 April 2003, disebutkan bahwa pasukan AS telah mengundangnya memasuki gedung intelejen Irak yang baru dikuasai pasukan AS, dan di dalamnya secara mengejutkan ditemukan sejumlah dokumen rahasia. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Irak pernah mengundang Usamah bin Laden untuk mengunjungi Irak pada bulan Maret 1998.
Menurut Wayne Madsen, pasukan AS memang mengundang dengan penuh semangat kalangan wartawan yang bekerja untuk kepentingan mereka memasuki sejumlah lokasi kantor pemerintahan Irak yang pernah dimiliki Saddam dan sejumlah gedung intelejen Irak untuk mendapatkan apa yang berguna bagi mereka dalam menyuarakan
propagandanya. Pada saat yang sama, mereka melakukan pengamanan yang ekstra ketat di ruang kementerian minyak Irak.
Maka itu dengan adanya Bom Oslo, kita akan terhantar pada memori sejarah Perjanjian Oslo yang sama sekali tidak menguntungkan bagi Palestina dimana PLO dalam posisi yang lemah dan sebaliknya Israel dengan AS pada pihak yang jumawa. Perjanjian Oslo terjadi saat Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang hasilnya adalah sebuah kesepakatan antara Palestina dan Isarel. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa "memerintah" di kedua wilayah itu. Arafat pun akhirnya mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.
Namun, seperti kata Riza Sihbudi dalam Bukunya “Menyandera Timur Tengah" sejatinya perjanjian Oslo tidak semanis apa yang diinginkan Palestina. Implementasi perjanjian Oslo pada dasarnya amat bergantung kepada kemauan politik dari Israel dan AS. Akhirnya banyak warga Palestina, yang semula mendukung perdamaian dengan Israel kemudian berbalik menentangnya, karena tidak kunjung merasakan “nikmatnya” perdamaian dalam bentuk perbaikan nasib dan peningkatan kesejahteraan.
Dan sampai detik ini Palestina terus terjajah, bahkan ketika ada suara dari Eropa untuk memerdekakan tanah mulia ini, Bom konspirasi Yahudi pun langsung meledak. Ya di tempat dimana 18 tahun lalu mereka membuat kesepakatan, yang itupun dikhianati sebab sampai saat ini Palestina juga belum bisa menikmati sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Munngkin hal ini wajar saja, hukum buatan Allah saja dilanggar oleh Yahudi, apalagi hukum buatan manusia. (pz/bersambung)