“Misionaris sederhana yang berjuang demi agama Kristen. Demikianlah Templar mengesankan diri mereka kepada masyarakat awam. Secara tidak pada tempatnya, mereka dianggap sebagai orang-orang kudus dengan kebajikan yang besar. Para pelindung agama Kristen yang mengabdikan dirinya untuk si miskin dan yang membutuhkan.”
Ucapan diatas ditulis oleh Harun Yahya dalam bukunya The Knight Templars, yang pertama kali rilis pada tahun 2003. Harun Yahya menjelaskan bahwa telah terjadi pemutarbalikan fakta mengenai jatidiri Knight Templars selama ini. Padahal sejatinya, apa yang dianut oleh Knight Templars justru bertentangan dengan dogma Kristen itu sendiri.
Harun Yahya mencatat anggota Templar lebih cenderung melaskanakan aksi seperti kebrutalan, keserakahan, bahkan menjalankan hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Agama Kristen. Templar bahkan berada pada wilayah pengkultusan luar biasa pada ritus-ritus rahasia dan terlibat massif pada penyembahan setan.
Pada gilirannya, Knight Templar justru banyak bergerak pada bidang keuangan, perbankan, bahkan aksi penjarahan. Raja Philip sendiri tidak berani mengungkap identitas mereka karena dikhawatirkan akan menguncang stabilitas keuangan Kerajaan yang memang notabene dikuasai Templar. Dari sinilah cikal bakal perbankan modern lengkap dengan ajaran ribanya berawal.
Alhasil, apa yang dilakukan Breivik sebagai jelmaan Templar sekaligus pencinta Kristen-seperti pengakuannya- tentu menjadi tanda-tanya. Sebab Templar-lah yang berada dibalik kerusakan ajaran Nashrani. Kalaulah memang Breivik jengah pada pemandangan multikulturalisme yang menyelimuti Eropa, ia juga harus sadar bahwa“Knight Templars” juga adalah kreator yang mengusung ajaran toleransi beragama itu kelak saat berubah wajah menjadi freemasonry.
Yahudi sebagai bangsa yang begitu ekslusif (kalau tidak mau dikatakan rasis diskriminatif), memang menaruh kebencian kepada agama selain mereka. Sejarah Yahudi yang membelokkan ajaran luhur Nabi Isa. As adalah satu fakta historis perlawanannya tehadap agama Allah ini. Pada gilirannya, perkembangan zaman menuntut mereka merubah taktik agar agama-agama dunia ini terpisah dari ajaran agamanya, termasuk Islam.
Salah satu tokoh Freemason yang mengembangkan Pluralisme agama adalah Helena Petrova Blavatsky. Ia adalah perempuan yang menyatakan tidak ada agama selain kebenaran. Dalam sebuah catatan pada sebuah jurnal India yang diterbitkan dibawah naungan Universal Masonry mencatat bahwa Blavatsky berderajat 30 dalam struktur Freemasonry. Seperti dikutip dari Mackey’s revised Encyclopedia of Freemasonry vol.1, dalam jurnal itu ditulis,
“When we say the good friends of Madame Blavatsky assert that she never claimed to Mason we refer to members of the Theosophical Society. Shortly after the issuance of our article, Notes from India, we received a letter from Brother J. H. Fussell of Point Loma California, taking us to task for intimating that Madame Blavatsky ever claimed to be a Mason and urging us in the strongest terms to correct what he deemed an error and one that is unfair to the memory of H. P. Blavatsky.”
Terry Melanson, dalam tulisannya, “Freemasonry: Midwife to an Occult Empire” juga membeberkan fakta menarik. Melanson menyatakan Helena Petrovna Blavatsky juga menjadi titik awal lahirnya Gerakan New Age. Sebuah faham yang bahkan lebih halus dari pluralisme agama, terlebih multikulturalisme yang dipermasalahkan Breivik.
New Age menjadi ajaran spiritualisme yang mencampurkan seluruh agama-agama dan juga sejumlah tradisi filosofis dan mistik Timur. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 menyebut slogan New Age dengan: Spirituality Yes! Organized Religion No! Maka itu jika kita tarik lebih mendalam, tulisan-tulisan Blavatsky bisa dikatakan sebagai basis dasar dalam persaudaraan okultisme.
Setelah menerbitkan karya-karya monumental seperti Isis Unveiled dan The Secret Doctrine, Blavatsky pun mendirikan Masyarakat Theosofi bersama Colonel Henry Steel Olcott, pada tahun 1875. Jadilah Masyarakat Theosofi sebagai kaki tangan Freemasonry dan mesin pendulang dolar bagi gerakan Freemasonry.
Di luar Amerika, sebut saja misalnya Hindia Belanda, Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame menyempatkan singgah ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elite kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Theosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia.
Masih dalam tulisannya, “Freemasonry: Midwife to an Occult Empire”, Terry Melanson mencatat bahwa sejatinya tradisi pluralisme agama lahir dari konspirasi Freemason. Mereka memadukan unsur mistik dan tradisi okult sebagai bumbu pemahaman Theosofi. Tradisi ini sudah lama dimulai sejak lama tepatnya pada zaman Mesir Kuno. “Masonry is regarded as the direct descendant, or as a survival of the mysteries… of Isis and Osiris in Egypt…” kata Robert Feke Gould, seorang master mason dari Inggris di dalam tulisannya “History of Freemasonry”.
Nama-nama lain yang menjadi aktor tradisi okult yang sejalan dengan misi theosofi diemban oleh para masonik. Diantaranya, Arthur Edward Waite (Grand Master Freemason). Dr. Wynn Westcott (Anggota Supreme Magus of the Societas Rosicruciana dan penerjemah Sepher Yetzirah ke dalam bahasa Inggris ).
S. L. MacGregor Mathers (Pendiri Hermetic Order of the Golden Daw yang menurutnya organisasi Okult paling berpengaruh sepanjang abad 20). Aleister Crowley (Derajat 33, inisiator musik Heavy Metal tahun 60-an). Dr. Gérard Encausse (Organisator Konferensi Masonik Internasional tahun 1908). Dr. Theodor Reuss (gabung dengan freemason tahun 1876). George Pickingill (Ahli Ilmu hitam). Annie Besant (Pendiri the British Federation of the International Order of Co-Freemasonry). C. W. Leadbeater. Manly P. Hall (Derajat 33) dan Gerald B. Gardner (Mason dari Loji Sphinx, pernah ke Borneo dan Malaysia).
Maka Breivik dalam hal ini menjadi antitesis. Antitesis dari sebuah tindakan konyol megebom warga Norwegia karena alasan melawan multikulturalisme. Ya Breivik tepatnya adalah seorang picik yang memuluskan misinya demi alasan apapun. Bisa dikata, Multikulturalisme adalah terdakwa yang sengaja ia ciptakan, konstruk, dan gerakkan. Ini adalah skenario Global untuk menahan laju perkembangan umat Islam di Eropa, bahkan dunia. Skenario ini melibatkan media-media zionis seperti kata Peter Eyre agar misi Zionis yang sebenarnya diemban oleh Breivik tertutup seketat mungkin oleh pemberitaan media.
Alhasil apa yang dilakukan Breivik sebenarnya lebih didasarkan kepada kebencian dan rasa frustasi tak terbendung melihat cahaya kebenaran Islam terus menyinari Eropa. Terlebih kejadian ini terus beruntun setelah keruntuhan Uni Soviet, meningkatnya jumlah Populasi muslim di Jerman, Italia, Belanda, masuknya isu hukum Syariah di Skandinavia, bahkan berdirinya imarah Islam di daratan Britania. Atau jangan-jangan betul penelitian NIC dan hipotesis mantan Wakil Ketua Parlemen Rusia, Michael Buriyev, bahwa tahun 2020 Khilafah akan berdiri. Wallahua’lam. (pz/bersambung)