Nama Erdogan dan Turki menjadi buah bibir masyarakat dunia akhir Januari lalu. Ketika itu, dalam pertemuan ekonomi dunia di Davos-Swiss, Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang duduk berdampingan dengan Presiden Israel Shimon Perez mengecam keras dan mengutuk aksi barbar Zionis-Israel yang menyerang Jalur Gaza akhir Desember 2008. "Kalian bangsa pembunuh!" desis Erdogan sambil menunjukkan jarinya kepada Perez. Dengan sikap penuh harga diri, Erdogan pun berdiri dan meninggalkan begitu saja forum internasional tersebut. Di belakangnya, Perez duduk termangu seolah tidak percaya ada seorang pemimpin negara yang seberani Erdogan terhadap Israel.
Dalam sekejap, Erdogan menjadi Hero baru bagi dunia. Bahkan dalam jajak pendapat yang diselenggarakan di sejumlah situs dan forum internet di Dunia Arab, para netters yang kebanyakan dari kalangan pemuda terdidik membaiat Erdogan sebagai "Khalifah al-Muslimin fi Hadza al-‘Ashr" (Pemimpin Umat Muslim di Zaman ini), sebanding dengan Khalifah Turki Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid II di akhir abad ke-19 M.
Sebaliknya, umat Islam dunia mencemooh para pemimpin negara-negara Arab—terutama para pemimpin Saudi Arabia dan Mesir—yang merestui aksi barbar Zionis-Israel menyerang warga Gaza. Bukan rahasia lagi jika para pemimpin Mesir dan Saudi lebih bersahabat dengan faksi Fatah pimpinan Mahmoud Abbas, yang di kalangan rakyat Palestina di kenal dengan sebutan Pelayan Zionis-Israel dan memusuhi HAMAS yang berjuang untuk memerdekaan Palestina dari penjajahan Israel.
Kepulangan Erdogan dari Swiss disambut gegap-gempita rakyatnya. Semangat pembelaan terhadap Palestina bertambah kuat tertanam di dada rakat Turki. Sebuah acara penggalangan dana yang diselenggarakan hanya beberapa hari setelah "insiden Davos", dalam waktu hanya tiga jam berhasil mengumpulkan 750.000 Euro atau sekira 12 miliar Rupiah!
Sikap penuh harga diri seorang Recep Tayyip Erdogan tidaklah muncul begitu saja. Ada proses yang cukup panjang dan istiqomah, baik dalam kehidupan pribadinya dan juga perjalanan politiknya.
Pelajaran Dari Turki Bagi Indonesia
Menurut banyak pengamat politik, naiknya popularitas tokoh dan partai politik berbasiskan massa Islam di Turki sesungguhnya merupakan akibat dari kegagalan sistem sekularisme yang diciptakan oleh Rezim Jenderal Mustafa Kemal. Rakyat Turki yang semula mengelu-elukan Mustafa Kemal dan para pendukungnya menjadi apatis dan anti ketika selama bertahun-tahun para pemimpin sekuler ini berkuasa ternyata tidak berhasil membawa kemakmuran bagi bangsanya. Mereka malah tumbuh menjadi segelintir elit penguasa yang kian hari kian kaya raya dan menciptakan jurang sosial ekonomi yang teramat dalam.
Dalam masa-masa "penuh mara bahaya", di mana tentara akan siap menyerbu siapa saja yang berani meneriakkan slogan syariat Islam di Turki, maka para tokoh umat Islam di Turki mengambil strategi perjuangan dengan moto "Silent is Golden". Mereka tidak mengembar-gemborkan diri sebagai kelompok yang akan memperjuangkan syariat Islam, tidak mengaku sebagai pihak yang paling suci, tidak mengklaim sebagai kelompok yang paling bersih, dan sebagainya, namun melakukan semua itu dalam kehidupan ril, baik dalam kehidupan keluarga atau pun dalam kehidupan berpolitiknya.
Disebabkan cara hidupnya yang sederhana dan berpihak pada kaum mustadh’afin, Erdogan dianggap sebagai pembela kaum tertindas. Saat menjabat sebagai Walikota Istanbul, Erdogan merupakan politisi pertama yang memelihara dan menyantuni orang-orang cacat saat pemerintah Kemalis tak memiliki kepedulian terhadap mereka. Dia memberikan berbagai keistimewaan dan pelayanan tulus bagi orang-orang cacat berupa mobil-mobil khusus, pembagian kursi-kursi roda. Bahkan Erdogan-lah ketua partai pertama dalam sejarah Turki modern yang berani mencalonkan orang cacat (Luqman Ayyo) duduk di parlemen.
Selain itu, Erdogan juga merupakan tokoh yang paling sering memberikan bantuan sosial berupa pakaian, makanan, dan uang kepada fakir miskin saat menjadi walikota. Dalam berbagai kesempatan, Erdogan turun sendiri ke lapangan untuk melakukan pembagian santunan ini dengan tulus, bukan sekadar seremonial. Dengan mengenakan seragam pekerja yang kasar dan mengendarai mobil yang biasa, Erdogan turun ke jalan memotivasi para pekerja jalanan agar bisa membersihkan kota Istanbul dari segala keruwetan yang ada. Sebab itu, selama pemerintahannya, kota Istanbul menjadi kota yang bersih dan indah karena operasi bersih dengan serius digalakkan. Erdogan bukan hanya menyuruh para pekerja untuk lebih giat bekerja, namun dengan penuh empati dia menaikkan gaji pembersih jalan serta memberi mereka fasilitas-fasilitas kesehatan dan jaring sosial. Ini ampuh memotivasi mereka agar bekerja lebih tekun.
Di bawah kepemimpinan Erdogan, kota Istanbul yang semua memiliki utang sebesar 2miliar dollar AS dan nyaris bangkrut, dengan cepat bisa mengatasi itu semua dan mengubah menjadi sebuah kota yang meraih laba dan tertata dengan baik demi kemaslahatan rakyatnya.
Seorang Erdogan juga sangat menghormati semua orang. Bukan dengan sikap yang dibuat-buat, namun keluar dari hati yang tulus dan bersih. Hampir dalam setiap pertemuan, ia berusaha menyalami hadirin satu persatu, bahkan dia konon tidak pernah absen melayat kematian siapa saja orang Turki yang ia dengar beritanya.
Sebab itulah, rakyat Turki sangat mencintai Erdogan, tanpa Erdogan harus mengkampanyekan diri dan partai politiknya dengan menghambur-hamburkan dana umat yang ada, seperti yang diperbuat oleh partai-partai dan tokoh-tokoh Kemalis. Di bawah kepemimpinan PM Erdogan, Turki menjadi negeri yang sangat kuat di berbagai bidang. Bahkan Zionis-Israel pun dibuatnya bergantung secara ekonomi olehnya. "Kerja keras Erdogan telah menjadikan ekonomi bangkit dari keterpurukan. pertumbuhan ekonimi sangat tinggi , inflasi turun drastis sampai 20%, menurunkan suku bunga hingga 40%, menaikkan nilai mata uang lira sampai 30%, menaikkan ekspor sampai 30%." (Republika,6/4/2004).
Apakabar Indonesia? Rakyat Indonesia sesungguhnya telah paham jika sisten sekularisme yang diusung pemerintah negeri ini dari zaman Soekarno, Jenderal Harto, sampai dengan para pewarisnya sekarang ini telah gagal total. Hanya saja, sampai saat ini belum ada tokoh yang tampil dengan bersih dan penuh keteladanan. Yang ada baru sebatas klaim di mulut. Kita disini sering mendengar betapa pejabat dan tokoh umat menyerukan agar rakyat hidup sederhana, namun mereka sendiri hidup dalam harta yang berlimpah, entah darimana asalnya. Sebab itu, dalam Pemilu 209 sekarang, semua partai politik, semua tokoh, berlomba-lomba berkampanye untuk bisa menipu rakyat sebanyak-banyaknya. Padahal, jika saja mereka selama ini hidup bersih, lurus, dan berani melawan kezaliman dengan tegas, maka rayat Indonesia akan memilihnya tanpa mereka harus berkampanye sekali pun!
Kampanye besar-besaran menandakan jika mereka sesungguhnya asing dan jauh dari realitas kehidupan rakyatnya sendiri, walau mereka banyak mengklaim sebagai pembela wong cilik atau pembela umat. Ini adalah fakta. (Tamat/rd)