Dalam beberapa minggu terakhir ini, David Petraeus telah menjadi momok yang menghantui koridor kekuasaan Eropa. Sejak ia menjabat sebagai komandan gabungan pasukan AS dan NATO di Afghanistan, banyak pemerintah Eropa khawatir bahwa AS akan mencoba memperpanjang waktu dan ruang lingkup militer Amerika di Afghanistan.
Jika Amerika tinggal, maka mau tidak mau, NATO pun harus tinggal pula. Petraeus, tampaknya walau bagaimanapun, terlihat sangat bernafsu memenangkan para kaum Pashtun di bagian selatan Afghanistan, dan memberikan sebuah pukulan K.O. (knock-out) kepada para pejuang Taliban.
Itulah apa yang tersirat dalam wawancara pertamanya dengan media sejak ia mengambil alih komando dari Jenderal Stanley McChrystal. Sejak itu pula, apa yang ditakuti oleh semua negara Eropa, menjadi sesuatu yang mungkin terjadi.
Dalam diskusi dengan para jenderal, diplomat dan pejabat Eropa, sebuah ketakutan menjalar; Presiden AS Barack Obama tampaknya tidak akan dapat menolak tuntutan jenderal perangnya. Jenderal Petraeus, sudah diketahui, menolak untuk menetapkan batas waktu pasukan asing di Afghanistan, sebaliknya ia akan terus menerapkan kelangsungan militer di negeri Mullah itu.
Padahal, hampir semua pemerintah Eropa saat ini tengah ketar-ketir, menghadapi tuntutan dari negaranya sendiri untuk menarik pasukan militer dari Afghanistan, baik karena pertahanan yang makin rapuh, resesi ekonomi yang tak kunjung pulih, kemarahan publik, ataupun oposisi parlemen. Faktor serupa juga mengubah banyak di Kongres AS, khususnya Demokrat, yang menentang perang itu. Jajak pendapat terbaru yang dilakukan NBC dan Wall Street Journal menemukan bahwa tujuh dari 10 orang Amerika tidak percaya perang Afghanistan akan berakhir dengan sukses.
Semua orang sekarang tampaknya menyadari terlalu banyak yang dipertaruhkan, bukan hanya di Afghanistan, tetapi juga untuk wilayah dan kredibilitas NATO. Penarikan pasukan sepertinya dilakukan bukan atas dasar keberhasilan medan perang yang sulit untuk diukur. Eropa juga ingin AS menekan tetangga-tetangga Afghanistan tidak ikut campur dalam urusan tersebut.
Jenderal Petraeus ingin meyakinkan Washington, NATO dan Eropa untuk melakukan hal sebaliknya; menentukan penarikan atas dasar militer, bukan politik, ataupun situasi.
Dalam wawancaranya, Petraeus tidak yakin apakah ia akan menuruti perintah Obama dalam menetapkan tenggat waktu penarikan pasukan. "Presiden tidak mengirim saya ke sini untuk mencari jalan keluar yang bersahaja," katanya kepada The New York Times pada hari Senin.
Namun, banyak warga Afghanistan dan Eropa, yang melihat bahwa masalah semakin meningkat. Perang meningkat di utara dan barat, terjadi kontradiksi antara AS dan Hamid Karzai, dan ketakutan bahwa pemilihan parlemen bulan September dapat menjadi bencana, mirip dengan pemilihan presiden 2009.
Terlebih lagi, setelah banjir menghancurkan Pakistan dan kerusakan infrastruktur, ada anggapan bahwa hal itu akan menghambat semua usaha Jenderal Petraeus yang bernegosiasi dengan para pejuang Taliban Afghanistan dan Pakistan. Dan tentunya, banjir itu akan menjadi saran mempermudah pejuang Taliban Pakistan untuk merebut wilayah.
Bahkan kabar baik pun semakin samar. Tentara Afghanistan, misalnya, berkekuatan penuh 134.000 orang dalam tiga bulan lebih ini setelah injeksi uang dan pelatihan dari AS, tapi sebagaimana efektifnya tidak pernah jelas.
Sulitnya, para pejabat Eropa tidak bisa mengatakan "Tidak" kepada Jenderal Petraeus, yang telah dianggap berhasil di Irak dan sekarang menulis cetak biru perang Afghanistan. Bagaimana dengan Obama? Akan sulit bagi seorang presiden AS jika harus memecat dua komandan di Afghanistan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Selain itu, Obama menghadapi masalah kebijakan domestik dan luar negeri, tidak sedikit yang takut bahwa Demokrat akan kalah dalam pemilu paruh waktu di bulan November. Robert Gates, Menteri Pertahanan, sedang mempertimbangkan mundur setelah penarikan pasukan yang direncanakan mengemuka. Jadi, ini adalah masa yang sulit bagi sang presiden untuk tidak setuju dengan jenderal seniornya itu.
Tak pelak lagi, sekarang Jenderal Petraeus menjelma menjadi bayang-bayang ketakutan Eropa dalam menarik mundur pasukan militer mereka dari Afghanistan. (sa/ft)