Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Latar Belakang
Kontrak pengoperasian Blok Cepu, yang tertuang dalam suatu Joint Operation Agreement (JOA), ditandatangani oleh Pertamina (Pertamina EP Cepu) dangan Exxon Mobil (Mobil Cepu Limited & Ampolex) pada tanggal 15 Maret 2006. Kontrak ditandatangani bertepatan dengan kedatangan Menlu AS, Condoleeza Rice sehari sebelumnya. Sehingga kontrak ini disebut-sebut sebagai ”hadiah” dari Pemerintah Indonesia kepada Amerika. Karena kedatangan sang tamu, penandatanganan kontrak ini dipercepat dari rencana semula yang dijadwalkan pada bulan Juni 2006.
Sebelum kontrak ditandatangani, terjadi perubahan besar di Pertamina, yakni pergantian Dirut Pertamina dari Widya Purnama kepada Ari Sumarno, pada tanggal 8 Maret 2006. Widya diganti terutama karena menolak keinginan pemerintah yang berniat menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Pada kesempatan pertama melakukan konferensi pers setelah pelantikan, Dirut Ari Sumarno antara lain mengatakan, ”Direksi berkeinginan Pertamina jadi operator. Tapi posisi GM itu tidak penting.” Dalam hal negosiasi dengan Exxon, Ari mengatakan, ”Kita akan negosiasi kembali, kita tidak akan menunda-nunda lebih lama lagi, karena yang penting Cepu berproduksi secepatnya seperti diperintahkan Presiden SBY.”
Sejalan dengan sikap SBY yang disebutkan di atas, dalam berbagai kesempatan pemerintah memang sering menyampaikan bahwa Blok Cepu akan memulai produksi pada akhir tahun 2008. Ternyata hingga akhir semester I 2009, Blok Cepu belum juga menghasilkan minyak yang dijanjikan. Padahal, untuk mencapai target produksi tersebut, pemerintah telah memberi berbagai insentif. Salah satu insentif tersebut adalah penundaan DMO (domestik market obligation) holiday, yang ternyata sangat merugikan bagi pendapatan negara. Ada indikasi bahwa penundaan DMO holiday ini adalah suatu praktik yang dilakukan dengan sengaja oleh oknum-oknum pemerintah dan kontraktor asing dalam rangka mengejar keuntungan.
Seperti diatur dalam kontrak kerjasama (KKS), eksploitasi suatu blok migas, untuk wilayah kerja (WK) yang baru dikembangkan, kontraktor diberi insentif berupa pembebasan dari kewajiban DMO (yang besarnya adalah 25% x share split x production), selama 60 bulan yang dihitung dari awal produksi. Pembebasan kewajiban ini disebut dengan istilah DMO holiday. Selama periode berlakunya DMO holiday, kontraktor menerima insentif berupa pembayaran atas kewajiban DMO sesuai dengan harga pasar yang disebut dengan DMO fee. Hanya setelah melewati masa produksi 60 bulan, kontraktor dikenakan kewajiban untuk menjual sebagian minyaknya sebagai DMO sesuai harga dalam kontrak. Bagian minyak kontraktor yang terkena kewajiban DMO ini biasanya dinilai dengan harga discount yang besarnya sekitar 10% atau 15% harga pasar.
Permintaan Penundaan DMO Holiday
Perlu disadari bahwa pelaksanaan DMO merupakan salah satu upaya untuk menjamin ketersediaan migas dalam negeri, dan sekaligus berperan sebagai bentuk proteksi negara atas hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari kekayaan alam yang dimiliki negara. Namun, dengan penerapan harga yang lebih rendah dibanding harga pasar (10%-15% harga pasar), ketetapan ini tentu tidak menguntungkan bagi kontraktor. Oleh sebab itu, dalam rangka menarik investasi, karena hal ini akan mempercepat pengembalian investasi, pemerintah memberlakukan insentif DMO holiday, yang waktunya, seperti disebutkan di atas, dimulai 60 bulan dari awal produksi.
Yang menjadi masalah adalah meskipun telah mendapat ”fasilitas” holiday/penundaan 60 bulan sejak awal produksi, kontraktor seperti Exxon Mobil di Cepu masih berupaya meminta penundaan pemberlakuan DMO holiday agar lebih menguntungkan lagi bagi pihak mereka. Exxon Mobil meminta pemberlakuan DMO dihitung 60 bulan bukan sejak awal produksi, tetapi sejak dicapainya puncak produksi minyak (full field production). Dengan demikian, selama periode 5 tahun sejak produksi puncak, kontraktor akan menikmati insentif berupa penerimaan DMO fee sesuai harga pasar. Padahal, ketentuan DMO holiday ini telah tercantum dalam KKS yang sudah ditandatangani sebelumnya. Ternyata, meskipun melanggar ketentuan kontrak, pemerintah tetap memenuhi permintaan Exxon Mobil tersebut. Pelanggaran kontrak ini jelas merugikan penerimaan negara, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain tulisan ini.
Berdasarkan surat Exxon Mobil dan Pertamina kepada Kepala BP Migas, R. Priyono, tertanggal 9 Mei 2008 (lihat Lampiran 1), disampaikan permintaan penundaan pelaksanaan insentif DMO fee. Pada intinya, Exxon Mobil meminta agar DMO fee (DMO holiday) diberlakukan bukan dihitung sejak awal produksi, tetapi dihitung 60 bulan sejak dicapainya produksi puncak. Permintaan ini diajukan oleh Exxon Mobil dengan alasan kelayakan ekonomi proyek, yang sebetulnya lebih karena ingin mendapat keuntungan yang lebih besar dari tambang migas Cepu.
Berikut adalah kutipan surat Kontraktor yang meminta penundaan periode insentif DMO fee, yang pada saat yang bersamaan surat ini juga memuat persetujuan Menteri ESDM atas permintaan tersebut (berupa side letter).
”….Recognizing that commencing production from the Banyu Urip field in limited quantities prior to commencement of Full Field Production (when the Banyu Urip Central Field Facilities [CFF] and export facilities are operational) would adversely impact Contractor’s Banyu Urip project economies due to the effect of Section 5.1.16 i of the Cepu KKS, the government has provided an incentive for early Banyu Urip Crude Oil Production and agrees that the period of 60 months specified in Section 5.1.16 I of the Cepu KKS, during which the DMO fee per barrel is equal to the price determined in accordance with Section VI of the Cepu KKS….. (such 60 months hereinafter referred to as the “DMO Holiday”), shall be deferred with respect to the Banyu Urip field…”
Untuk mendukung legalnya permintaan Exxon Mobil ini, Departemen ESDM membuat landasan berupa Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Minyak dan Gas Bumi Dalam Negeri oleh KKKS yang antara lain pada Pasal 4 dan Pasal 5 menyatakan (lihal Permen ESDM No.2 tahun 2008 pada Lampiran 2):
Pasal 4: “Terhadap kewajiban penyerahan 25% bagian kontraktor sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf a diberikan insentif DMO fee sesuai harga pasar dalam jangka waktu untuk 60 bulan berturut-turut sejak dimulainya masa produksi komersial.”
Pasal 5: “Dengan pertimbangan teknis dan ekonomis, Kontraktor melalui Badan Pelaksana dapat mengusulkan kepada Menteri mengenai perubahan saat dimulainya pemberlakuan insentif DMO fee sesuai dengan harga pasar sebagaiman dimaksud dalam Pasal 4”.
Tercatat ada berbagai hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance dan clean government yang telah terjadi sehubungan dengan persetujuan Menteri ESDM atas permintaan penundaan DMO fee ini. Disamping itu, ternyata kebijakan pemberian insentif tersebut sangat merugikan penerimaan negara. Kedua hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan berikut.
Ketentuan Hukum Pemberian Insentif DMO
Bila merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan DMO sifatnya adalah wajib bagi kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Seperti yang tertuang di dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Pasal 22 Ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Hal ini kemudian diperjelas di dalam Penjelasan UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Pasal 22 Ayat (1) yang menyebutkan “Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan tersedianya pasokan Minyak dan/atau Gas Bumi yang diproduksi dari Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri. Pengertian penyerahan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak dan/atau Gas Bumi dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila suatu Wilayah Kerja menghasilkan Minyak dan Gas Bumi maka Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Gas Bumi.” Dan Ayat (2) yang menyebutkan “Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok: kondisi kebutuhan dalam negeri, mekanisme pelaksanaan dan ketentuan harga, serta kebijakan pemberian insentif berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dari hasil produksinya.”
Selain di dalam undang-undang, ketentuan DMO juga tertuang di dalam PP 35/1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi Pasal 16 yang menyebutkan : “(1) Menteri menetapkan pembagian hasil produksi minyak dan atau gas bumi; (2) Pelaksanaan pembagian hasil produksi minyak dan atau gas bumi dilakukan pada titik penyerahan (point of lifting); (3) PERTAMINA dan Kontraktor akan menerima minyak dan atau gas bumi sesuai bagian masing-masing pada pelabuhan ekspor atau tempat penyerahan lain yang disetujui PERTAMINA dan Kontraktor.” Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 17 yang menyebutkan: “Kontraktor wajib menyerahkan dari bagiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) secara prorata untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dan atau gas dalam negeri sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri.”
Untuk mengoperasionalkan ketentuan tentang DMO yang tercantum dalam undang-undang dan PP, telah lumrah dan rutin diterbitkan Peraturan Menteri (Permen). Namun Permen tidak akan diterbitkan secara serampangan, misalnya andai di dalamnya memuat ketentuan merugikan yang bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan di atasnya, atau diterbitkan untuk mengakomodasi kepentingan suatu KKS tertentu. Untuk kasus Cepu, tampaknya Permen inilah yang menjadi sumber masalah yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Permen ESDM No.02 Tahun 2008 antara lain memuat pada Pasal 1: “Kontraktor berkewajiban menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Kemudian di dalam Pasal 3 disebutkan: “Kewajiban penyerahan 25% (dua puluh lima persen) bagian Kontraktror sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan sebagai berikut : (a) Untuk minyak bumi diberikan Domestic Market Obligation fee (DMO fee) sesuai KKS; (b) Untuk gas bumi diberlakukan harga sesuai kontrak penjualan gas bumi pada Wilayah Kerjanya.
Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan: “Terhadap kewajiban pernyerahan 25% (dua puluh lima persen) bagian Kontraktor sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf a diberikan insentif DMO fee sesuai harga pasar dalam jangka waktu untuk 60 (enam puluh) bulan berturut-turut sejak dimulainya masa produksi komersial.”
Untuk mengakomodasi permintaan dan kepentingan Exxon Mobil, Pasal 5 Permen No.2/2008 menetapkan ketentuan yang berlawanan dengan Pasal 4 di atas, yaitu: “Dengan pertimbangan teknis dan ekonomis, Kontraktor melalui Badan Pelaksana dapat mengusulkan kepada Menteri mengenai perubahan saat dimulainya pemberlakuan insentif DMO fee sesuai dengan harga pasar sebagaiman dimaksud dalam Pasal 4”.
Pelanggaran Hukum Kasus Penundaan DMO Holiday
Esensi dari uraian tentang ketentuan hukum pemberlakuan penundaan DMO holiday (sama dengan pemberian DMO fee) ini adalah bahwa permintaan Exxon Mobil untuk mendapatkan insentif penundaan DMO fee, telah disetujui oleh pemerintah melalui Menteri ESDM, meskipun permintaan ini melanggar kontrak dan merugikan penerimaan keuangan negara. Beberapa hal yang dianggap melanggar prinsip-prinsip good governance dan clean government dalam pemberian penangguhan pemberlakuan DMO holiday kepada ExxonMobil adalah
• Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro telah melakukan perbuatan yang tidak patut dengan turut menandatangani surat (side letter) yang telah disiapkan sebelumnya oleh Exxon Mobil sehubungan dengan permintaan penundaan DMO holiday. Intervensi dan endoresement Menteri ini sangat merendahkan martabat dan wibawa pemerintah yang statusnya disamakan dengan sebuah korporasi. Surat Exxon tersebut terkait perubahan isi kontrak yang merupakan persoalan bisnis (B to B) yang seharusnya dibahas dengan BP Migas. BP Migaslah yang seharusnya memberi jawaban atas surat Exxon tersebut, bukan otomatis disetujui oleh Menteri tanpa negosiasi perubahan kontrak, dan menjadikan pemerintah sebagai backing kepentingan Exxon.
• Surat Exxon berupa side setter seperti diperlihatkan pada Lampiran 2 juga menunjukkan pemerintah dan para pihak lain yang bersangkutan menganggap bahwa isi kontrak dapat dirubah, menyesuaikan diri dengan keinginan kontraktor. Padahal sesuai kaídah yang berlaku, side setter tidak boleh dijadikan sebagai dasar untuk mengubah kontrak dan bukan pula merupakan bagian dari kontrak. Perubahan kontrak harus dilakukan dan dituangkan dalam amandemen kontrak.
• Dengan adanya pembubuhan tandatangan Menteri ESDM sebagai approval pemerintah atas permintaan Exxon, yang seharusnya dilakukan melalui amandeman kontrak, dapat dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan kejahatan legislasi. Kita menganggap bahwa manipulasi ketentuan dan prosedur hukum telah terjadi pada kasus DMO holiday ini.
• Permintaan DMO incentive dari Exxon Mobil kepada BP Migas adalah berupa side letter yang telah disertai tanda tangan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Artinya, terdapat tekanan agar BP Migas untuk ikut menyetujui dan menandatangani kesepakatan ini. Hal ini jelas telah melanggar kepatutan dan juga menunjukkan Menteri ESDM telah menjadikan dirinya sebagai pendukung dan backing bagi lahirnya kesepakatan yang merugikan negara ini.
• Kejanggalan dan ketidakpatutan juga telah terjadi mengingat persetujuan/ approval Menteri ESDM atas permintaan Exxon Mobil, berupa tandatangan, diberikan tanpa adanya tanggal yang pasti. Diperoleh informasi bahwa Permen ESDM ini justru dilahirkan setelah keputusan tentang penundaan DMO fee tersebut ditetapkan. Terkait dengan itu, patut diduga bahwa Permen No.2/2008, sebagai dasar hukum penundaan pemberlakuan DMO holiday, dikeluarkan setelah pemerintah menerima surat Exxon (Permen telah di-back dated). Jika dugaan ini benar maka dapat dikatakan bahwa terbitnya Permen No.2/2008 merupakan rekayasa dan manipulasi Departemen ESDM untuk melayani kepentingan Exxon.
• Lahirnya kesepakatan ini, meski diberikan landasan hukum berupa penerbitan Peraturan Menteri ESDM, adalah sebuah bentuk kejahatan dan pengkhianatan terhadap undang-undang. Sebagaimana diketahui, UU No. 22 Tahun 2001 telah menyatakan bahwa kontraktor wajib menyediakan pasokan migas (DMO) sebesar 25% untuk kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan migas dalam negeri sekaligus sebagai bentuk proteksi negara atas hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari kekayaan migas yang dimiliki negara. Hal inilah yang dihilangkan dengan adanya kesepakatan ini. Pemberian DMO incentive, yang menetapkan DMO fee sesuai dengan harga pasar selama 60 bulan berturut-turut (terhitung sejak full production dimulai) pada hakikatnya menghapus hak rakyat untuk memiliki dan memanfaatkan kekayaan migas yang dimiliki negara. (bersambung)
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.