Pada 2013 lalu, seorang perwira angkatan udara Cina Kolonel Dai Xu, menuduh AS telah menciptakan virus flu burung yang pada perkembangannya mewabah di beberapa daerah di Cina, sebagai bagian dari perang biologis yang dilancarkan AS.
Menurut keterangan Kolonel Dai Xu, AS secara sengaja melepas virus flu burung H7N9 ke Cina sebagai serangan biologis terhadap wilayah kedaulatan Cina. Bahkan kemudian sempat muncul informasi bahwa virus Ebola di Afrika Barat, berasal dari laboratorium biologis AS.
Singkat cerita, perang biologis yang dilancarkan AS melalui penempatan beberapa laboratorium biologis seperti NAMRU-2 AS maupun the Richard Lugar Center di Georgia, sejatinya AS telah melanggar the Biological Weapons Convention (BWC), sebagai perjanjian internasional yang mengikat secara legal negara-negara yang ikut perjanjian tersebut, melarang penggunaan senjata-senjata biologis.
Sehingga melalui BWC itu, negara-negara yang terikat pada perjanjian ini untuk tidak mengembangkan, memproduksi maupun menggunakan senjata-senjata biologis maupun senjata-senjata beracun, sebagai bagian integral dari upaya untuk memperluas apa yang disebut weapons of mass destructions alias senjata pemusnah massal.
Sejak 1975, ada 181 negara yang ikut konvensi BWC. BWC menegaskan kembali dukungannya pada Protokol Jenewa 1925 yang melarang penggunaan senjata biologis. Pada 1969, Presiden Richard Nixon mengakhiri aspek offensif dari program perang biologis AS. Sehingga pada 1975 itu pula, AS meratifikasi baik Protokol Jenewa 1925 dan BWC.
Namun pada 1995 dan 2001, AS tidak menandatangani perjanjian terkait pengawasan penggunaan senjata biologis sesuai spirit Protokol Jenewa 1925 dan BWC. Dengan kata lain, AS menolak adanya mekanisme verifikasi terkait pengembangan maupun penggunaan senjata biologis, maupun terkait keberadaan dan sepak-terjang laboraotorium-laboratorium biologis AS.
Agaknya, pemerintah Indonesia harus mendesak Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa agar Protokol Jenewa 1925 dan BWC dihormati oleh negara-negara adikuasa, terutama AS.(Sumber: GFI)
Hendajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.