Adapun Jalur Sutra tersebut mempunyai beberapa rute lintasan. Via Uatara membujur dari Perbatasan Cina-Rusia, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Tajikistan, Turkemestan, Iran, Irak, Suriah, Turki, lantas terus menuju Eropa.
Via Selatan membentang antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, Suriah, Mesir, terus menuju ke Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah antara jalur Utara dan Selatan adalah Suriah. Selain itu ada jalur tambahan atau jalur pengembangan yaitu melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Yang mana beberapa negara yang berada di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, masuk dalam rute lintasan tersebut.
Kekhawatiran AS dan Blok Barat bukan saja sebatas pada aspek politik dan keamanan. Karena Jalur Sutra bukan sekadar rute lintasan ekonomi-perdagangan, dan sosial-budaya. Fakta yang tak terbantahkan bahwa negara-negara yang termasuk dalam rute lintasan tersebut, semuanya merupakan negara-negara kaya sumberdaya alam seperti minyak, gas, tambang-batubara, dan jenis-jenis tambang lainnya.
Inilah intisari kekhawatiran AS dan Barat. Strategi Nasional Jalur Sutra Maritim Cina sebagai jabaran dari dari skema One Country Two System, Menyatunya konektivitas geografis dan kerjasama ekonomi-perdangan dengan negara-negara yang termasuk lintasan Jalur Sutra di Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara yang diterapkan Cina atas dasar pola geostrategi Soft Power dan nonmiliter, sebaliknya malah mendorong AS dan sekutu-sekutunya untuk membendungnya melalui pola geostrategi Hard Power.
Inilah sisi rawan dari skema persekutuan tiga negara AS, Inggris dan Australia melalui skema AUKUS maupun skema sebelumnya yaitu persekutuan empat negara (AS, Australia, India dan Jepang). Maka itu, peran aktif Indonesia untuk memprakarsai perdamaian lewat ASEAN menjadi sangat mendesak dan penting. Untuk itu, perlu menjabarkan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif secara lebih imajinatif sesuai dengan tren dan tantangan global yang kita hadapi dewasa ini.[Sumber: TheGlobalReview]
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)