Maka tidak heran jika hubungan lintas batas antara Hongkong dan daratan Cina semakin berkembang, seperti Shenzen, yang berlokasi geografis terdekat dengan Hongkong. Bukan saja Shenzen dipandang sebagai kota “Hongkong Mini” melainkan juga hampir seluruh Cina bagian Selan yang diterapkan Zona Ekonomi Khusus semasa Deng Xiaoping berkuasa pada akhir 1970an, mengalami kemajuan pesat.
Sepertinya, pandangan visioner Deng Xiaoping seturut bergabungnya kembali Hongkong ke tangan RRC pada 1997, untuk menerapkan One Country Two System terhadap Hongkong, kelak diberlakukan juga terhadap jaringan para Cina rantau yang tersebar di Asia Pasifik. Termasuk Indonesia.
Artinya, sepanjang kaum kapitalis berbasis korporasi baik di Hongkong maupun Cina rantau bersedia melayani kepentingan nasional RRC, maka kerjasama berskala internasional tersebut dibenarkan menurut doktrin pemerintahan RRC yang sejak Deng berkuasa, mencanangkan jargon “Memodernisasikan Masyarakat Sosialis Berwatak Cina.” Dalam bahasa tegasnya, selama kaum kapitalis bersedia menerima skema sosialisme ala Cina, maka kerjasama bisa terjadi antara RRC dan para Cina rantau.
Dalam perspektif inilah, jejaring regional dan global para taipan lintasnegara dengan Hongkong, Singapura dan Taiwan menjadi jaringan internasional yang cukup berkelindan erat dan semakin solid dengan Cina daratan.
Bahkan menurut catatan Murray dan Hughes yang bukunya terbit pada 1996 atau sebelum Honkong bergabung kembali dengan RRC, mencatat bahwa ditinjau dari sisi mikroekonomi, Cina dan Hongkong kala itu sudah merupakan mitra investasi dan dagang terbesar. Sekitar 60 persen ekspor Cina menuju Hongkong, sementara Cina merupakan tujuan ekspor nomor satu Hongkong. Malah ekspor Hongkong ke Cina 23 persen, ke Amerika Serikat hanya 19 persen. Bisa dibayangkan setelah Hongkong menyatu kembali dengan RRC pada 1997.
Berarti, bagi China Hongkong bukan sekadar pusat persinggahan pelabuhan bagi Cina. Investasi oleh Cina rantau berhasil memasuki daratan Cina melalui Hongkong. Proyek-proyek patungan di Cina dibiayai bersama oleh investor dari Indonesia atau Thailand keturunan Cina atas bantuan dari Hongkong.
Sisi penting lainnya di luar dimensi keuangan yang kian kumulatif, bagaimana melalui jaringan transportasi yang terintegrasi dibangun untuk menciptakan konektivitas geografis. Misal jaringan kapal feri, hydrofoil, dan penerbangan udara, dibangun untuk menciptakan konektifitas geografis antara Hongkong dan Cina. Bahkan pada 1994 untuk mengembangkan lebih lanjut skema Zona Ekonomi Khusus yang diterapkan di beberapa kota Cina Selatan, dibangun jalan laying enam jalur oleh Hopewell Holdings yang dikuasai taipan prasarana Hongkong Gordon Wu, secara simbolis maupun langsung, menghubungkan Guangzhou dan Shenzen dengan Hongkong. Melalui skema ini, perjalanan ulang-alik warga Hongkong ke Cina dan sebaliknya, praktis bebas hambatan dan mudah.