Di era Obama, kemudian pemerintah AS mencanangkan Poros Keamanan Asia, yang menandai adanya pemusatan kebijakan luar negerinya yang lebih besar di Asia dan Pasifik, dibandingkan dengan Eropa dan Timur Tengah. Yang itu berarti, AS akan meningkatkan kegiatan militernya di kawasan itu, dengan melibatkan beberapa negara seperti Filipina, Singapura dan Thailand, dan menggunakan lebih banyak peralatan militer termasuk sedikitnya 40 kapal baru.
Lebih spektakulernya lagi, sejak kunjungan Jenderal Dempsey ke Filipina, pasukan kapal perang dan pesawat AS dapat sekali lagi, bisa menggunakan bekas fasilitas angkatan laut dan udaranya di Subic, Zambales dan dan Clark Field Pampanga. Padahal sewaktu menghadapi tentara Vietnam Utara, bekas pangkalan angkatan laut AS di Subic dan lapangan terbangnya pernah digunakan tentara AS untuk operasi besar-besaran selama Perang Vietnam yang mana AS mendukung pemerinta Vietnam Selatan.
Adapun yang wajib dicermati juga adalah kunjungan Dempsey pada 2012 lalu, ketika mengunjungi Thailand, yang mana penggunaan Pangkalan U-Tapao yang merupakan lapangan udara angkatan laut AS, digunakan untuk operasi militer berkedok hanya demi misi-misi kemanusiaan.
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia Harus Siap Mengantisipasi Kawasan Asia Tenggara Sebagai Medan Tempur Baru AS dan Cina. Ditinjau dari perspektif ini, ke depan Indonesia harus mengantisipasi kawasan Asia Tenggara sebagai medan tempur baru AS dan Cina. Maka itu, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Indonesia, sudah saatnya mencermati berbagai sengketa wilayah perbatasan (Border Disputes) beberapa negara di Laut Cina Selatan secara intensif. Khususnya sengketa wilayah perbatasan atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Rekomendasi
- Indonesia harus punya blue print atau cetak biru Kebijakan Luar Negeri yang secara imajinatif menjabarkan makna Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif sesuai dengan perkembangan konstelasi global saat ini. Serta menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
- Kebijakan Luar Negeri melalui Kementerian Luar Negeri harus terintegrasi secara holistik dengan kementerian terkaitm lainnya seperti Politik-Keamanan, Pertahanan, Ekonomi, Perdagangan, Perindustrian dan Intelijen.
- Keterpaduan seluruh kebijakan luar negeri RI mensyaratkan peran aktif Kementerian Luar Negeri sebagai garis depan dari pelaksanaan Diplomasi Total untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
- Untuk mewujudkan Politik Luar Negeri bebas-aktif yang lebih imajinatif sesuai tantangan ke depan, berbagai kerjasama luar negeri baik secara bilateral maupun multilateral, harus didasari upaya mensinergikan potensi-potensi nasional dari negara-negara mitra atas dasar kepentingan nasional.
- Perlu ditumbuhkan dan dikembangkan secara lebih intensif pentingnya Gerakan Kesadaran Geopolitik. Sehingga perlu disusun kelompok kerja tiga sektor: Strategi, Ekonomi dan Geopolitik.[]
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute