Setelah membaca TOR FGD Balitbang Kemhan RI ini, saya teringat pada sebuah Dokumen Rand Corporation yang dirilis pada tahun 2000 yang lalu:
“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”
Dokumen Rand Corporation yang berada dalam naungan Pentagon atau Kemhan AS, dirilis pada era pemerintahan Presiden George W Bush yang sangat mengedepankan pendekatan militerisasi dalam kebijan luar negerinya. Hal ini semakin menguat dengan keluarnya rekomendasi dari Council of Foreign Relations (CFR) pada Mei 2001, satu setengah tahun sebelum meletusnya peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. (1)
“Waktunya tepat sekali bagi pemerintahan anda untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita.” Begitulah bunyi rekomendasi CFR Mei 2001. Lebih lanjut CFR secara eksplisit menyampaikan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggqara:
“Bahkan dengan mengabaikan ingatan akan terjadinya tragedy perang Vietnam , sulit untuk menerima ada satu kawasan seluas itu, dengan penduduk hampir 525 juta jiwa dengan GNP 700 miliar dolar setahun, yang merupakan mitra dagang kelima kita, sampai bisa terlupakan dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini tidak boleh terjadi, khususnya terhadap suatu bagian dunia, dimana Amerika telah pernah melibatkan diri dalam tiga perang besar dalam tempo enam dasawarsa, dan dimana, krisisi keuangan 1997-1998 yang terjadi di sana, telah mengancam stabilisasi sistem keuangan dunia.”
Sorotan khusus CFR terhadap Indonesia sebagai negara terbesar di Indonesia? Simak lebih lanjut rekomendasi CFR:
“Yang perlu diperhatikan secara khusus adalah cadangan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi Indonesia dan Brunei. Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC yang mengekspor 20% dari produk LNG dunia, sedangkan cadangan yang dimilikinya belum sepenuhnya diketahui. Ladang minyak dan gas bumi terus ditemukan di sana, di Malaysia, di Vietnam dan di Filipina.”
Shangri-La Dialogue Ke-11 dan Kerjasama Militer Enam Negara
Pada Mei 2012 dua pejabat yang paling bertanggungjawab atas mesin militer global AS pada waktu itu, Menhan Leon Panetta dan Kepala Staf Gabungan Jendral Martin Dempsey, mengunjungi markas komando Pasifik di Hawai dalam lawatan ke sejumlah negara di Asia Pasifik. Yang menarik di sini, keduanya berangkat dari Pangkalan Udara Andersen di Guam, tiba di Singapura untuk menghadiri forum tahunan di bidang pertahanan bernama Shangri-La Dialogue ke-11. Di forum itu berkumpul para pejabat tinggi dari 26 negara Asia Pasifik. Yang patut disorot di sini bukan pertemuan resmi Shangri-La Dialogue itu sendiri, melainkan pertemuan2 sampingan di luar forum resmi tersebut.
Setelah forum resmi tersebut usai, kedua pejabat kunci militer global AS tersebut melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Panetta berkunjung ke Vietnam dan India, dua sekutu militer AS yang paling signifikan di Asia Pasifik pasca Perang Dingin. Sedangkan Dempsey bertolak ke Filipina dan Thailand, yang juga dua sekutu militer AS.
Selama di Singapura, Panetta menyatakan bahwa Washington akan meningkatkan prosentase angkatan laut AS di Asia Pasifik dengan mengirim pesawat, kapal penjelajah, kapal perusak, kapal tempur dan kapal selam dari 50 hingga 60 persen dan memperkuat serta memperluas aliansi militer dengan negara-negara di seluruh kawasan. Berarti aliansi militer yang dikembangkan AS meliputi negara- negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam sengketa wilayah dengan Cina di Laut Cina Selatan. (2)
Sedangkan menhan Panetta menekankan intensifikasi kerjasama militer dengan enam negara Asia Pasifik dimana AS memiliki perjanjian pertahanan yang ditandatangani pada saat puncak Perang Dingin dan pada saat yang sama ditujukan terhadap Cina. Keenam negara tersebut adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Filipina dan Thailand. Juga memperluas dan memperdalam kerjasama yang sudah ada sebelumnya dengan Singapura, Indonesia, Malaysia dan India.
Dari konstruksi cerita tadi, tergambar jelas adanya pertautan antara forum pertemuan para pejabati tinggi pertahanan dan militer dalam forum Shangri-La Dialogue dengan rancang bangun kerjasama militer global AS dengan beberapa negara Asia Pasifik. (3)
Di Vietnam, Panetta berkunjung ke Vietnam, menandatangani nota kesepahaman untuk meningkatkan kerjasama militer di lima wilayah.