Bagaimana dengan Amerika (AS)? Sejak dahulu ia konsisten menjalankan ketiga power tersebut secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung dari market/target. Artinya, kadang politik yang di depan, terkadang militer, kadang pula ekonomi, dan seterusnya.
Bahwa perubahan power concept sebagai isu aktual di abad ke-21 telah menjadi clue bagi banyak negara bahwa penggunaan militer adalah jalan/cara terakhir. Pertanyaan menggelitik muncul, “Apakah trend ini tak bertentangan dengan dogma si vis pacem parabellum?” Tak juga. Buktinya mana? Ya. Meski bukan prioritas, ternyata Korea, Jepang, Cina, Iran, Rusia, dan lain-lain terus memodernisasi power militernya hingga kini termasuk Indonesia. Siapa ingin damai bersiaplah untuk perang!
Ketika berkembang asumsi di era trade war, bahwa berakhirnya perang dagang adalah awal dimulainya perang militer, ternyata asumsi tersebut tidak terbukti. Agaknya clue di atas tetap menjadi rujukan perilaku geopolitik para adidaya. Dengan kata lain, modus nirmiliter atau asimetris menjadi pilihan (geo) strategi yang akan dimainkan di panggung geopolitik berbasis hikmah pengalaman di masa lalu.
Misalnya, bila dalam krisis ekonomi 1997 di Asia akibat penarikan US Dollar secara masif dan sistematis oleh invisible hands jelang jatuh tempo utang swasta dan pemerintah. Ya, modus ini menyebabkan banyak perusahan besar kolaps, utang pemerintah kian menggunung, devisa tergerus dan lain-lain; tetapi di sisi lain, sektor riil dan UKM hampir kurang terdampak. Selain tetap menggeliat bahkan sektor tertentu justru “berpesta” atas pelemahan rupiah terhadap dolar. Hal inilah yang membuat George Soros sowan ke istana menemui RI-1 (SBY) menanyakan resep atas “daya tahan” ekonomi Indonesia dalam krisis 1997 lalu.
Agaknya hari ini, di tengah Coronavirus mewabah, cukup melalui lockdown beserta turunannya, implikasinya bukan cuma perusahan besar yang rontok, tetapi pasar saham pun berguguran termasuk sektor riil di level bawah yang pada krisis 1997 dulu berjaya.