Berarti, ketika kalangan bisnis Cina dari Asia Timur dan Tenggara memperluas jaringan mereka ke Indonesia, pada saat yang sama pengusaha-pengusaha etnis Cina Indonesia meningkatkan kepekatan jaringan bisnis regionalnya dengan jalan melakukan investasi di Asia Timur dan Tenggara.
Sarana yang digunakan untuk membentuk jaringan regional didasarkan pada kesamaan daerah asal-usul, seperti terlihat melalui kiprah organisasi International Federation of Futsing Clan, sebuah asosiasi regional pengusaha Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara. Asosiasi yang berkantor di Singapura tersebut punya perwakilan di Jepang, Hongkong dan Macau, Taiwan, Malaysia, Singapura, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Ujung Pandang dan Amerika Serikat.
Anggota asosiasi terdiri dari para bankir, industriawan, importir dan eksportir besar, sub-kontraktor, pedagang dan pedagang eceeran yang lebih kecil. Jaringannya merentang dari lingkar regional sampai ke lingkar lokal. Adapun kekuatan mereka terletak pada bentuk-bentuk kerjasama antar anggota asosiasi tersebut.
Sedemikian rupa besarnya pengaruh jaringan bisnis regional Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, pemerintahan Cina daratan di Beijing pun menyadari potensi finansial yang dimiliki kelompok Cina rantau ini. Maka di sinilah menariknya kebijakan double standard pemerintah Cina terhadap para taipan rantau tersebut.
Dari sudut pandang ideologis Partai Komunis Cina, para taipan lintas negara ini merupakan musuh negara akibat kekayaan yang mereka miliki karena masuk golongan “kelas kapitalis.” Tapi ini hanya berlaku untuk konsumsi dalam negeri. Ke luar negeri, pemerintah Cina justru bersikap lunak, bahkan cenderung melindungi kelas kapitalis ini.
Para Taipan Semakin Diuntungkan Melalui Kebijakan Reformasi Deng Xio Ping
Lepas dari sikap mendua pemerintahan Cina daratan terhadap para taipan rantau, namun sejak 1978 menyusul diterapkannya Kebijakan Reformasi dan Keterbukaan (gaige kaifang), pragmatisme pemerintahan Deng Xio Ping justru memberi angin kepada para taipan rantau. Bukan lagi kemiskinan dan kebodohan yangg dipuja-puji melainkan harta dan kepandaian.
Deng Xio Ping, yang merupakan tokoh sentral reformasi Cina, mengumungkan diterapkannya kebijakan “Empat Modernisasi” yang meliputi pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi dan pertahanan. Untuk mencapai sasaran tersebut, pemerintah Cina secara bertahap memakai sistem ekonomi pasar, menggantikan sistem ekonomi komando. Maka, rakyat Cina baik yang di desa maupun yang di kota, diizinkan untuk berwiraswasta. Berbinis.
Modal boleh diperoleh dari luar Cina, demikian pula teknologi dan ketrampilan. Sehingga praktis sejak saat itu Cina membuka pintu lebar-lebar terhadap dunia luar, terutama dari dunia barat.
Di sinilah kemudian, jaringan bisnis regional etnis Cina yang tersebar di seluruh dunia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara, mendapat dukungan strategis dari pemerintahan Cina. Karena dalam skema reformasi ekonomi Deng, jaringan bisnis trans-nasional Cina dipandang memiliki potensi modal untuk diikutsertakan dalam membangunan perekonomian Cina daratan.