Sampailah Habibie ke Bandung dengan masuk SMAK Dago, di mana ia menggemari pelajaran-pelajaran eksakta, utamanya Fisika. Setelah melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954, Habibie mulai gandrung terhadap pesawat berangkat dari kegemarannya terhadap aeromodelling.
“Ia punya model pesawat terbang yang dibuat sendiri dan selalu diperagakan. Tetapi model tersebut tak pernah sempat disempurnakan. Ia pernah masuk Aeromodelling Club, tapi tak punya waktu banyak untuk itu,” sambungnya.
Namun pendidikannya di ITB hanya sampai enam bulan lantaran Habibie kepincut kuliah di luar negeri sebagaimana kawannya, Kenkie Laheru. Dari kawannya itu dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta.
“Habibie berangkat ke Jakarta dan menemui petugas yang berwenang. Dia ditanya mau pilih jurusan apa? Habibie memilih Ilmu Fisika. Dijawab oleh petugas, bahwa tidak ada jurusan Fisika, hanya ada jurusan lain, termasuk Ilmu Aeronautika,” imbuh Makmur.
Jurusan terakhir itulah yang diambil Habibie lantaran di Ilmu Aeronautika paling banyak bersinggungan dengan Fisika. Habibie pun masuk ke Technische Hochschule Aachen (kini RWTH Aachen University). Ia berangkat dengan jalur membeli devisa pemerintah. Semua biayanya dikucurkan dari peninggalan mendiang ayahnya lewat perkenan sang ibu.
“Habibie memilih jurusan itu juga dengan dasar pertimbangan pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin. ‘Kamu inilah harapan bangsa,’ ucap Yamin sambil mengelus-elus kepalanya,” tutur Makmur.
Alasan lain Habibie menggeluti ilmu tentang pesawat terbang, lantaran ia juga ingin mendalami teknologi pesawat Jerman yang dikaguminya. Sejak belia, Habibie terkagum-kagum pada pesawat tempur Jerman era Perang Dunia II, Messerschmitt 109, bikinan teknokrat Willy Messerschmitt. Kebetulan, kampus yang dipilih Habibie merupakan tempat Messerschmitt kuliah.