Sebuah ikhtisar akan memudahkan kita untuk mengambil intisari dari sebuah rangkaian tulisan yang panjang. Dalam tulisan terakhir tentang Agenda Selamatkan Indonesia, kami akan menuliskan beberapa pokok pikiran yang insya Allah bisa kita jadikan pegangan bersama di dalam upaya kita menyelamatkan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai. Inilah iktisarnya:
Korupsi dalam segala sisi dan variannya (mark-up anggaran, seenaknya memakai uang rakyat untuk pelesiran ke luar negeri, menyunat dana proyek, membeli fasilitas pejabat memakai uang rakyat, suap, dan sebagainya) merupakan penyakit utama yang harus diberantas negeri ini.
Ironsinya, walau sekarang dikatakan era reformasi, namun di lapangan penyakit korupsi ini malah kian menggila. Sehingga ada istilah Korupsi Berjamaah. Sistem perekrutan kepala daerah, caleg, hingga presiden, di mana calon harus memiliki modal dana yang sangat besar, sangat membuka peluang terhadap praktik korupsi ini. Sebab itu, sistem setor dulu modal sebelum menjabat harus diakhiri. Pilkada-pilkada yang memilih pemimpin dari tingkat Bupati hingga Presiden harus disederhanakan karena sangat menguras energi, waktu, dan biaya bangsa ini. Pemilihan langsung hendaknya dilakukan untuk tingkat pemilihan gubernur hingga presiden. Itu pun sebenarnya sudah cukup menyita energi.
Masalah lain adalah kosongnya pemimpin atau calon pemimpin yang memiliki karakter kuat. Sekarang ini calon pemimpin dikarbit melalui iklan di media massa. Orang yang tidak punya prestasi apa-apa dipromosikan sebagai calon pemimpin. Orang yang tidak pernah berkorban dan berjuang untuk bangsanya, dijagokan sebagai pemimpin. Dan yang konyol, ada segolongan orang yang meminta agar dirinya diberi kesempatan untuk memimpin dengan dalih regenerasi kepemimpinan, tanpa bisa menyodorkan prestasi apa yang pernah dilakukannya. Hasilnya ya seperti sekarang ini: menyedihkan.
Padahal sejarah dunia sudah berkali-kali mencatat, pemimpin-pemimpin besar hanya bisa lahir dari kerasnya perjuangan. Ada istilah yang berlaku sejak lama bahwa seseorang itu belum bisa dikatakan pemimpin jika belum merasakan dinginnya lantai penjara. Tentu bukan karena tertangkap oleh KPK. Melainkan karena perjuangannya melawan ketidak-adilan yang ada di sekitarnya. Soekarno saja sebelum menjadi presiden telah merasakan kehidupan penjara selama 25 tahun!
Korupsi dan tiadanya karakter pada pemimpin bangsa ini menyebabkan bangsa dan negara ini terus terpuruk. DI saat asing menguasai nyaris seluruh sumber daya alam dan energi bangsa ini, kita masih saja bersuka-cita dan mengangap negara ini masih merdeka. Padahal kenyataannya tidak. Lantas apa yang harus menjadi agenda para calon pemimpin bangsa ini?
Pertama, harus berani memerangi korupsi dan memenjarakan koruptor. Dia harus berani membuka dan menuntaskan kasus korupsi berjamaah seperti halnya kasus BLBI. Para konglomerat yang selama ini asyik menikmati uang jarahannya harus diseret dijatuhi hukuman yang setimpal. Jika perlu hukum tembak mati agar bisa membuat jera. Cina saja yang bukan negara Pancasila bisa melakukan itu, mengapa Indonesia tidak?
Perang terhadap koruptor dan segala variannya ini harus diawali dari tingkat atas. Dari tingkat para menteri, sekjen, termasuk lembaga legislatif dari tingkat pusat hingga daerah. Bukan rahasia umum lagi jika lembaga legislatif selama ini merupakan sarang penyamun dan bandit berdasi, walau tidak semua.
Kedua, pemimpin bangsa ini harus bisa mengembalikan kedaulatan bangsa dan negara ini ke tangan rakyat seperti yang diamanahkan UUD 1945. Selama ini, tanpa diketahui rakyat banyak, UUD 1945 telah dikebiri dengan berbagai amandemen yang sesungguhnya merupakan pesanan AS. Kembalikan UUD 1945 dan batalkan UUD hasil amandemen demi hukum. Buat kontrak-kontrak karya baru yang berkeadilan bagi perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di negeri ini. Jika mereka menolak, usir saja. Venezuela dan Bolivia merupakan contoh yang bagus untuk ini.
Dua kriteria di atas sudah sangat cukup untuk menyelamatkan bangsa ini dari jurang kehancuran. Hanya saja, apakah sekarang ada calon pemimpin yang berani melakukan itu? Jika tidak, lantas apa manfaatnya pemilihan umum jika “pesta demokrasi” yang menghambur-hamburkan banyak uang rakyat itu hanya bisa menghasilkan para koruptor dan penyamun berdasi? (rd)