Hari-hari ini jutaan bendera parpol secara serampangan dan jauh dari etika berdiri atau diikat di mana saja. Di tiang listrik, pagar jalan raya, pohon-pohon, gedung, dan sebagainya. Dari kesemrawutan pemasangan saja sudah memperlihatkan kepada kita jika mereka memang tidak pernah memperhatikan etika dalam berpolitik. Yang ada cuma nafsu berkuasa, agar bisa merampok uang rakyat besar-besaran untuk mengembalikan modal (mahar politik) yang sudah disetor ke parpol masing-masing dalam jumlah miliaran rupiah agar bisa menjadi caleg nomor jadi.
Adalah fakta, untuk menjadi caleg nomor jadi di parpol, maka Anda harus menyetor uang dalam jumlah miliaran kepada pemilik parpol tersebut. Sebab itu, ketika terpilih sebagai aleg, maka prioritas kerjanya adalah berusaha keras mencari uang agar bisa balik modal. Setelah itu mencari modal lagi agar bisa terus jadi aleg
Dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu lainnya, rakyat banyak terus-terusan dibohongi oleh parpol dengan jargon-jargon yang indah-indah namun tidak pernah terlaksana. Sejak awal Suharto selalu menyatakan anti korupsi, tapi korupsi di masa kekuasaannya terjadi dengan sangat dahsyat, hingga mengkorup seluruh kekayaan alam negeri ini kepada pemodal Yahudi Internasional. Di era reformasi banyak pihak mengklaim sebagai parpol yang menjunjung tinggi asas kebersihan berpolitik, anti kezaliman, pro rakyat, perduli dengan umat, dan sebagainya dan sebagainya. Namun yang terjadi ternyata sebaliknya.
Kehidupan umat atau rakyat banyak tidak pernah berubah, selalu saja berada dalam kubangan kemiskinan dan kemelaratan, sedangkan orang-orang parpol yang tadinya pengangguran, cuma seorang karyawan biasa, pengamat kelas kacangan, guru yang hanya mampu kredit motor bekas, dan sejenisnya, setelah menjadi pejabat tiba-tiba kehidupannya berubah menjadi makmur dan sangat sejahtera dengan segala fasilitas yang mewah.
Di tingkat elit, para tokoh parpol menjadikan parpol sebagai kendaraan politik bernilai ekonomis yang sangat tinggi dan strategis yang sangat menguntungkan dirinya. Perolehan suara dalam pemilu atau jumlah anggota suatu parpol dijadikan modal utama untuk melakukan negosiasi dengan pengusaha-pengusaha atau tokoh-tokoh nasional yang kaya yang mau dikarbit atau dicalonkan sebagai anggota legislatif atau bahkan presiden.
Tokoh yang tidak punya prestasi apa-apa yang patut dibanggakan dibikinkan iklan di media
Politik di negeri ini memang telah menjadi arena politik dagang sapi yang sungguh-sungguh dahsyat daya rusaknya. Pemainnya telah menjadi manusia-manusia yang “Raja Tega” dan membolak-balik pasal-pasal, bahkan ayat-ayat kitab suci, demi keuntungan mereka sendiri. Rakyat hanya dijadikan kuda tunggangan, tidak lebih.
Lantas, jika demikian, bagaimana kita sebagai bagian dari rakyat banyak, bersikap dalam Pemilu 2009 yang tinggal dalam hitungan bulan lagi? Satu hal yang harus dicatat, bahwa keikutsertaan kita dalam pemilu BUKANLAH KEWAJIBAN melainkan HAK. Tidak ada satu pun pihak di negeri ini yang bisa memaksakan kehendaknya kepada kita. Jadi, ikut tidaknya kita dalam “pesta demokrasi” tersebut berpulang kepada keputusan masing-masing, yang tentunya setelah menimbang-nimbang manfaat mudharatnya. Terlebih bagi seorang Muslim, setiap keputusan kita nantinya akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak, jadi wajib berhati-hari dalam hal ini dan jangan salah mengambil keputusan, apalagi mengambil keputusan berdasarkan ketaatan yang salah kepada sesama mahluk.
Bagi Muslim, taat tanpa syarat, loyalitas mutlak, hanyalah diberikan kepada Allah SWT dan Rasululah SAW. Inilah ketauhidan sejati. Selain itu, tidak ada ketaatan mutlak, apalagi tanpa didahului oleh pemahaman yang benar dan menyeluruh. Dalam Islam berlaku “Fahmu qabla Thoat” atau Memahami suatu masalah terlebih dahulu sebelum menyerahkan ketaatan. Jadi, bukan “Thoat qabla Fahmu” alias taklid buta. Islam mengharamkan taklid buta kepada sesama manusia.
Agar kita semua bisa memutuskan sikap menjelang Pemilu 2009, maka di bagian kesepuluh tulisan ini akan dipaparkan agenda apa saja yang harus dipikul oleh calon pemimpin negeri ini. Hal ini sangatlah penting dan mendesak, karena bangsa ini sekarang tengah meluncur ke jurang kebinasaan yang dalam. Jika kita tidak cepat bertindak, maka negeri ini akan hancur dan tidak lagi bisa ditolong.
Momentum kebangkitan nasional—suatu istilah politik yang sarat kepentingan—sesungguhnya suatu eufimisme dan pembohongan publik yang keterlaluan dan tidak tahu malu. Bagi kita yang setiap hari pergi ke kantor bergelantungan di atas kereta api ekonomi atau di bus