Rezim Orde Baru Jenderal Suharto berkuasa di atas genangan darah jutaan rakyatnya sendiri yang dibantai tanpa ampun selama periode pekan ketiga Oktober 1965 hingga awal 1966. Pada bulan November 1967, atas suruhan Suharto, tim ekonominya telah menggadaikan sebagian besar kekayaan alam negeri ini di atas meja sejumlah korporasi multi nasional untuk disantap sesukanya. Sebagai imbalannya, para birokrat negeri ini, para pejabat yang berada di sekitar Suharto, bisa hidup dengan penuh kemewahan atas usahanya menjual negara ini.
Selama 32 tahu masa kekuasaannya, mental birokrat negeri ini dididik agar menjadi tuan, bukan pelayan, rakyat. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dijadikan program bersama, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Dengan dana dari utang luar negeri, Indonesia melakukan pembangunan fisik yang dipusatkan di pulau Jawa, sementara rakyat di pulau-pulau di luar Jawa terabaikan. Proses pemiskinan berjalan dengan pasti. Kian hari kian dalam kesenjangan ekonomi dan akses politik serta pendidikan antara lapisan birokrat dan teknokratnya Suharto dengan rakyat banyak. Jurang kesenjangan sosial makin dalam dan makin lebar.
Negeri besar ini bagaikan balon yang terus ditiup tanpa perduli dengan kapasitasnya. Akhirnya, Mei 1998, negeri ini meledak dalam rusuh sosial yang parah. Sebelumnya, krisis ekonomi melanda kawasan Asia Tenggara dan di Indonesia menjelam menjadi krisis multidimensi.
Suharto lengser disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh anak negeri. Namun kita lupa bahwa sistem yang diciptakan Suharto tidaklah ikutan lengser, malahan memperkuat diri sehingga kian solid. Sebab itu, naiknya Habibie, kemudian diganti dengan Abdurahman Wahid, Megawati, dan kini SBY, tidaklah mengubah wajah negeri ini menjadi semakin baik dan cantik, bahkan sebaliknya menjadikan wajah negeri ini kian bopeng dan rusak.
Konspirasi Zionis Internasional yang dikomandoi Amerika sebagai panglima imperialis dunia mengobok-obok konstitusi negara ini. Mereka menggelontorkan uang dalam jumlah banyak, menyuap para wakil rakyat di lembaga legislatif agar bersedia menyulap UUD 1945 menjadi UUD yang pro imperialisme asing dan tidak pro rakyat. Akibatnya sekarang ini, seluruh sendi-sendi ekonomi Indonesia berada dalam cengkeraman tangan kekuatan imperialis dunia. Kita menjadi babu di negeri kita sendiri.
Agar rakyat sibuk dengan hal-hal yang tidak penting, maka dibuatlah suatu sistem dengan mengeksploitasi demokrasi yang mampu meninggikan syahwat kekuasaan seluruh anak negeri. Semua pelayan rakyat dari tingkat presiden hingga walikota dan bupati dipilih lewat penyelenggaraan proses pemilihan umum yang melibatkan rakyat banyak. Jadilah negeri ini terlalu sibuk dengan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan berjuta pilkadal yang menguras pikiran, uang, waktu, dan sumber daya anak negeri ini.
Menjadi pejabat sekarang ini menjadi lahan profesi baru, di mana partai politik menjadi kendaraan yang efektif untuk itu. Banyak pengangguran intelektual—orang-orang lulusan perguruan tinggi namun miskin kreativitas—yang melirik lahan profesi baru ini. Untuk bisa tampil menjadi caleg misalnya, diperlukan uang mahar dalam jumlah yang banyak sebagai modal yang harus disetor kepada partai politik sebagai kendaraannya. Jika dirinya berhasil menjadi pejabat, aleg atau walikota dan sejenisnya, maka hal yang pertama-tama dipikirkan adalah mengumpulkan uang agar modalnya bisa balik dalam waktu yang tidak terlalu lama (Break Event Point).
Setelah modal bisa balik, maka prioritas kerja selanjutnya adalah lagi-lagi mengumpulkan uang agar lima tahun ke depan bisa dijadikan modal untuk mempertahankan jabatannya, lewat pilkadal dan sebagainya. Partai politik tempatnya bernaung juga dengan ganas selalu meminta bagian atau prosentasi uang yang berhasil dikumpulkannya. Terciptalah simbiosis-mutualisme antara pejabat dengan partai politiknya dalam merampok uang rakyat, karena sumber-sumber keuangan negara memang berasal dari rakyat, apakah itu dari pemasukan pajak, atau dari pemangkasan subsidi bagi rakyat kecil seperti yang terjadi dalam kasus pemangkasan subsidi BBM.
Negeri ini sungguh gila. Subsidi untuk rakyat kecil dalam banyak bidang dipangkas, namun subsidi bagi para pejabat negara dilestarikan. Sebab itulah terjadi hal-hal yang sungguh tidak masuk akal, bagaimana di negeri yang miskin dan hampir hancur ini, banyak rakyatnya yang bunuh diri gara-gara frustasi dengan kehidupannya yang kian lama kian dirasa menindas, banyak anak-anak kecil turun ke jalan mencari uang untuk sekadar bisa makan, para pejabatnya bisa mendapat fasilitas mobil mewah, rumah dinas yang luks, gaji yang kian hari kian meninggi, bisa jalan-jalan keliling dunia dengan fasilitas nomor wahid dengan alasan studi banding, dan sebagainya.
Korupsi berjamaah menjadi trend. Merampok uang rakyat lewat pos-pos anggaran dijadikan seni kreativitas tersendiri bagi banyak pejabat kita. Sistem yang sungguh gila dan memuakkan ini terus berjalan dengan berbagai dalih dan pembenaran yang konyol. Sebab itu, partai-partai politik berlomba-lomba untuk bisa merampok uang rakyat sebanyak-banyaknya. Kekuasaan menjadi “gadis remaja nan cantik dan molek” yang diperebutkan semua parpol. Hanya inilah yang bisa menerangkan kepada nurani kita mengapa parpol-parpol yang dikenal agamis bisa-bisanya bersekutu dengan parpol-parpol yang sekularis. Tahta, harta, dan wanita, merupakan fitnah abadi dalam pergumulan ini.
Apa kabar nasib rakyat banyak? Bagaimana dengan kondisi umat? Jujurlah, anak negeri ini sekarang hanya dijadikan kuda tunggangan bagi partai-partai politik. Didekati dan diberi janji manis tatkala mendekati pemilu atau pilkadal, dan secepatnya dilupakan begitu pesta demokrasi usai. Inilah kenyataan yang terjadi kemarin, hari ini–dan jika kita terus saja mau dijadikan kuda tunggangan–akan tetap terjadi esok hari. (bersambung/rd)