Setelah KLBI, maka dalam periode kedua yang terjadi selama 1988-1996, penjarahan uang rakyat oleh perbankan swasta yang direstui oleh pemerintahannya Suharto kembali terjadi dengan kebijakan Pakto 88.
Periode Kedua
Setelah Konglomerat merampok uang BI lewat KLBI, maka Menkeu JB Sumarlin pada 27 Oktober 1988 mengeluarkan Pakto 88 yang membuat para konglomerat bisa lebih kaya lagi, dan bangsa ini lebih miskin-melarat. Pakto 88 merupakan peraturan yang memudahkan masyarakat yang ingin membuka dan mengembangkan bank dengan modal sangat ringan (hanya Rp 10 miliar), dan syarat personalia yang ringan pula, sehingga kelak terbukti, orang bermental rampok bisa menjadi komisaris dan direktur bank swasta nasional.
Para pedagang dan konglomerat yang berkat Pakto 88 mendadak menjadi bankir yang jauh dari sikap hati-hati dan bahkan serakah. Terbukti, hal ini berperan besar dalam menghancurkan fondasi ekonomi nasional dan moneter.
Lewat bank-bank baru yang bermunculan pasca Pakto 88, hasil kolusi antara pengusaha dengan birokrasi, rakyat ditipu untuk menyimpan uang di berbagai bank swasta dengan iming-iming bunga menarik dan hadiah gede-gede-an. Namun nyaris luput dari perhatian, dalam masa itu, sedikit sekali rakyat pribumi yang memperoleh kredit bagi usahanya yang produktif.
Setelah berhasil menyedot dana dari rakyat dalam jumlah besar, sebagian besar dananya disalurkan ke grup perusahaan sendiri. Di negara maju, praktek jahat yang melanggar BMPK ini dikategorikan suatu kejahatan besar pidana dan bankirnya bisa diseret ke muka hukum, sedang di Indonesia cukup dengan KUHP: Kasih Uang Habis Perkara. Dengan cara kedua ini akhirnya bukan hanya kantong BI yang dikuras, tapi juga kantong rakyat disedot ke kantong konglomerat melalui jalur perbankan.
Periode ketiga
Penjarahan dana BLBI, yang merupakan pengurasan kantong BI sampai bangkrut oleh konglomerat berlangsung selama 1998-1999. Pemilik bank-bank swasta yang berdiri hasil Pakto 88, memanfaatkan bank miliknya itu justru untuk menghimpun dana masyarakat untuk disalurkan kepada grup usahanya sendiri. Ketika kreditnya macet (atau sengaja dibikin macet), maka terjadilah rush, pengambilan besar-besaran dana simpanan oleh para nasabahnya.
Macetnya kredit para bankir ini terkait manuver pialang Yahudi George Soros yang tiba-tiba (sebenarnya sudah direncanakan jauh hari) memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar mata uang di Asia. Akibatnya dolar AS menjadi barang langka dan kursnya meroket terhadap mata uang Asia. Krisis moneter berawal dari sini.
Di saat bersamaan, utang para pengusaha yang dimanja pemerintah ini terhadap kreditor asing jatuh tempo. Mereka harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi dalam bentuk dollar AS kepada kreditor asing ini. Maka terjadilan kredit macet. Para pengusaha ini tidak mampu membayar utang dollarnya itu. Kebangkrutan bank-bank swasta di Indonesia menjadi satu keniscayaan. Ini tidak terjadi hanya di satu bank, namun banyak dan bergantian secara terus-menerus.
Dengan dalih mencegah hancurnya sistem perbankan dan perekonomian nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang amat sangat melindungi dan menguntungkan para bankir jahat tersebut. Keluarlah Keppres No 24 dan No 26 tahun 1998 tentang jaminan pemerintah atas uang masyarakat yang disimpan di bank-bank pemerintah maupun swasta, serta pemberian jaminan atas kewajiban bank di dalam negeri kepada nasabah maupun kepada kreditor di luar negeri berdasarkan Frankfurt Agreement.
Pada bulan Juni 1998, pemerintah membayarkan utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar dolar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP. Ini berarti, para bankir jahat itu yang ngutang dan menikmati uangnya, namun yang membayar utangnya adalah rakyat Indonesia!
Dalam memenuhi kewajiban pemerintah tersebut, BI menyediakan dana talangan yang direalisasikan dalam bentuk fasilitas BI yang lebih dikenal dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI ini dikucurkan kepada bank-bank nasional dengan syarat yang sangat ringan. Peluang ini dimanfaatkan secara optimal oleh para bankir jahat yang memang sudah ikut membidani (kolusi dengan berbagai pejabat negara) lahirnya kebijakan ini, sehingga dalam waktu yang relatif singkat terkucurkan dana BLBI sebesar 164, 54 triliun rupiah hanya untuk 54 bank nasional pada posisi per 29 Januari 1999.
BLBI itu antara lain diterima Syamsul Nursalim (BDNI) sebesar Rp 37, 040 triliun, Liem Sioe Liong (BCA) Rp 26, 596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23, 050 triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12, 068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp 3, 866 triliun.
Sejak 29 Januari 1999, dari jumlah BLBI sebesar Rp 164, 54 triliun tersebut, sebesar Rp 144, 54 triliun di antaranya dialihkan oleh BI kepada pemerintah dalam hal ini BPPN. Sedangkan Rp 20 triliun lainnya menjadi penyertaan modal pemerintah (PMP) pada PT BEII (Persero). Dengan demikian sejak tanggal tersebut dana BLBI beserta bunganya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah, berarti beban rakyat.
Hasil audit investigasi BPK menunjukkan bahwa potensi kerugian negara mencapai 138, 4 triliun atau 95, 8 persen dari total BLBI sebesar Rp 144, 5 triliun yang dikucurkan per 29 Januari 1999. Sebesar Rp 138 triliun adalah BLBI yang disalurkan menyimpang, lalai, dan sistemnya lemah. Total BLBI yang diselewengkan bankir iblis, konglomerat koruptor, mencapai Rp 84, 5 triliun atau 58, 7 persen dari Rp 144, 5 triliun BLBI. Jenis penyimpangannya meliputi penggunaan BLBI untuk kepentingan kelompoknya sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak baru, ekspansi kredit, dan investasi seperti membuka cabang baru, dan sebagainya.
Harus dicatat, tidak ada satu pemerintah di seluruh negara di dunia ini pun yang berani mengambil-alih utang bank swasta. Di luar negeri, kalau terjadi rush yang mengakibatkan suatu bank menjadi bangkrut, maka pemerintah tidak campur tangan. Pemilik bank yang bangkrut harus mengembalikan semua simpanan nasabah dan semua utangnya. Kalau tidak sanggup, maka pemerintah akan melakukan tindakan hukum. Hanya Indonesia di bawah Soeharto yang berani—atau tolol?—menempuh jalan ini. Hal tersebut bisa jadi sangat terkait dengan Bail-out game scenario yang sudah dicanangkan berpuluh tahun lalu oleh para bankir Yahudi terhadap Indonesia. Dan ironisnya, setelah Suharto tiada, penguasa selanjutnya tetap saja melestarikan ketololannya ini. (bersambung/rd)