Pemilu 2009 tinggal menghitung hari. Bendera partai politik sudah berkibar di mana-mana mengotori pemandangan kota. Iklan-iklan parpol dan capres sudah jor-joran tampil di berbagai media. Sekarang, adakah agenda paling mendesak bangsa ini yang mereka usung? Lantas, apa agenda paling mendesak yang harus dilakukan calon pemimpin negeri ini agar bangsa besar bernama Indonesia bisa diselamatkan dari kehancuran?
Dalam bukunya “Agenda Mendesak Bangsa: Menyelamatkan Indonesia ! (2008), Amien Rais menulis: “Masalah pokok bangsa kita adalah bahwa semangat kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian kita sudah hilang untuk kurun waktu yang cukup lama, terlebih-lebih pada era sekarang ini.”
John Pilger, kolumnis sekaligus pembuat film independen Australia, di dalam kilpnya berjudul “The New Ruler of the World” menyatakan, “Indonesia merupakan negeri besar yang jatuh menjadi bangsa pengemis…” Hal ini disebabkan, sepeninggal Soekarno, para Indonesia tidak memiliki karakter yang kuat untuk membangun bangsanya. Yang ada adalah karakter penipu, pencuri, perampok, dan mental korup.
Di zaman Soekarno, dengan konsep kemandirian dalam pembangunan ekonominya, walau menerima juga sejumlah bantuan dan juga utang dari negara lain, namun itu semua tidak menjadikan arah pembangunan dan kedaulatan negeri ini hancur. Sebab itu Amerika sangat bernafsu menumbangkan Soekarno dan baru berhasil di tahun 1965 lewat tangan Jenderal Suharto dengan local army friend-nya. Jatuhnya Soekarno oleh Washington dirayakan besar-besaran. Indonesia dikatakan sebagai “Upeti paling besar dari Asia”.
Sepeninggal Soekarno, oleh Suharto dan komplotannya, kekayaan negeri ini digadaikan dengan harga yang sangat murah. Sejak itu Indonesia berubah bentuk menjadi sekuntum bunga yang ranum dan mekar-mewangi yang disodorkan cuma-cuma bagi sekawanan lebah rakus yang kelaparan bernama Imperialis Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Gunung emas di Papua disedot habis oleh Freeport McMoran hingga kini menjelma menjadi lembah yang amat dalam.
Asas legal-formal bagi penanaman modal asing di negeri ini (UU PMA 1967) dibuat di Swiss (November 1967) dan disusun oleh para pengusaha Yahudi Internasional bernama Rockefeller dan sebagainya. Ketika Suharto jatuh, para kroninya naik menjadi penguasa dan meneruskan kerusakan yang sudah dimulai sejak tahun 1965 hingga hari ini.
Habibie yang menggantikan Suharto yang dipandang sebagai pemimpin yang lebih baik ketimbang pendahulunya, ternyata juga melakukan kerusakan yang cukup besar. Selama masa kekuasaan yang sempit, Habibie sempat menerbitkan UU No.10/1998 tentang Perbankan (nama resminya UU No.7/1992 tentang Perbankan, namun diubah di zaman Habibie). UU ini jauh lebih eksplisit di dalam mendorong salah satu agenda Konsensus Washington, yaitu liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Lebih parah lagi, semangat liberalisasi ini dilakukan dengan kebablasan, tanpa peyiapan jaring-jaring pengaman dari liberalisasi, terutama manajemen resiko (Amien Rais; Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!; ppsk press, 2008; h. 185).
UU ini sangat liberal, bahkan melebihi IMF sekali pun. Dengan UU ini, asing bisa menguasai 99% saham bank di Indonesia. Padahal komitmen Indonesia di WTO hanya 49-51%. Dengan UU ini Indonesia jauh lebih liberal ketimbang negara-negara AS, Australia, Kanada, Singapura, dan sebagainya. Indonesia juga lebih ngawur di banding negara Asia lainnya.
“…dampaknya, saat ini 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia sudah dimiliki pihak asing dengan kepemilikan mayoritas. Hebatnya lagi, pihak asing bisa membeli bank-bank tersebut dengan harga hanya 8-12% dari total biaya rekaitulasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara. Negara pun masih harus membayar bunga obligasi sekitar Rp.50-60 triliun tiap tahun hingga tahun 2030.(Amien Rais; ibid. h. 186)
Ketika Habibie digantikan Abdurrahman Wahid, sahabat karib kubu Zionis ini terang-terangan membuka hubungan dagang resmi dengan Zionis-Israel, yang sesungguhnya mengkhianati UUD 1945. Lalu naik Megawati yang banyak melakukan penjualan badan-badan usaha milik negara kepada pihak asing. Kasus listing Telkom di NYSE, Semen Gresik, dan Indosat adalah contohnya.
SBY-JK pun sami mawon. Selama pemerintahannya, harga migas sudah mengalami berkali-kali kenaikan, rakyat tetap antre mengular untuk mendapatkan lima liter minyak tanah, kekayaan alam kita tetap dijarah pihak asing, korupsi kian meraja-lela, kian banyak rakyat kecil bunuh diri gara-gara putus asa dengan kehidupannya yang kian sulit, dan satu hal lagi: Pejabat negara ini kian jauh dari rakyat dan kian ganas memeras keringat dan darah rakyat, memperkosa negeri ini, demi keuntungan material kelompoknya sendiri. Tim ekonomi pemerintahan SBY-JK juga masih saja dipenuhi kacung-kacung IMF dan World Bank yang menuhankan Konsensus Washington. Seolah-olah negeri ini merupakan negara bagian Amerika Serikat yang ke-51. (rd/bersambung)