Tidak perlu menjadi orang yang sangat pintar untuk bisa menyadari jika kondisi bangsa dan negara ini kian hari kian terpuruk, negara ini kian meluncur ke jurang kebinasaan, semuanya disebabkan oleh khianatnya para pemimpin terhadap rakyat dan negaranya sendiri.
Salah satu bukti sederhana adalah kasus Manohara yang tengah ramai diberitakan media massa Indonesia. Ketika kasus ini mencuat, pemerintah RI lewat Kementerian Luar Negeri dan juga KBRI di Malaysia secara resmi mengirim surat klarifikasi kepada pihak Kerajaan Kelantan, Malaysia, tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Manohara.
Dan setelah menunggu berhari-hari, akhirnya pihak Kerajaan Kelantan mengirim seorang utusannya kepada pihak pemerintah Indonesia yang diwakili oleh KBRI. Namun sungguh kurang ajar, utusan yang dikirim pihak Kerajaan Kelantan ternyata hanya seorang pembantu rumah tangga. Tanpa mengecilkan peran mulia pembantu rumah tangga, namun di dalam kasus Manohara, tindakan yang dilakukan pihak Kerajaan Kelantan tersebut benar-benar melecehkan dan melukai harga diri dan kehormatan bangsa dan negara Indonesia.
Ini sama saja pihak Kerajaan Kelantan mengatakan jika bangsa Indonesia adalah bangsa budak, bangsa pembantu, dan bangsa kuli. Apalagi salah seorang pembesar istana Kelantan pernah mengatakan kepada ibunda dari Manohara jika semua orang Indonesia bisa dibeli dengan harta. Ini sungguh sudah hinaan yang keterlaluan.
Lantas, apa yang diperbuat Presiden SBY? Jenderal berpostur gagah ini lagi-lagi mengambil sikap aman: DIAM SERIBU BAHASA. SBY sama sekali tidak melakukan pembelaan terhadap izzah bangsa dan negara ini yang terang-terangan telah dilecehkan oleh Kerajaan Kelantan. Demikian pula dengan para pejabat negaranya yang sama sekali tidak menunjukkan keperduliannya untuk membela harga diri bangsa. Ataukah memang bangsa ini sudah tidak punya lagi harga diri dan kedaulatan?
Andai Presiden Soekarno masih hidup, dia akan segera mengumpulkan jutaan massa di Ikada dan berteriak tanpa gentar: “Ganyang Malaysia!!!” serta mementuk pasukan komando untuk dikirim ke negara boneka imperialis Barat tersebut. Sayang, pemimpin sekarang tidak lagi memiliki nyali raksasa untuk mengatakan kebenaran, yang ada hanyalah syahwat yang dahsyat untuk berkuasa dan berkuasa lagi.
Di hari-hari sekarang, kita tengah menyaksikan akrobat politik yang dilakukan para petinggi partai politik untuk bisa memperoleh kue kekuasaan—dan itu berarti sumber uang yang amat sangat besar—tanpa satu pun yang membahas agenda menyelamatkan bangsa dan negara ini dari jurang kehancuran yang lebih dahsyat.
Sebab itu, tulisan ini sengaja menyoroti agenda apa saja yang seharusnya dimiliki oleh calon pemimpin untuk lima tahun ke depan. Tulisan ini bukan untuk para calon pemimpin tersebut yang saya yakin tidak akan membacanya, sebab mereka hanya perduli jika sesuatu itu mengandung fulus, namun untuk dibaca dan dicermati oleh umat alias rakyat banyak, agar mereka tidak salah lagi menentukan pilihan dalam pemilihan presiden yang kian hari kian dekat tanggal pelaksanaannya.
Agar kita tidak lagi ditipu oleh para makelar politik yang kerjaannya memang memperjual-belikan suara rakyat, apakah itu atas nama ideologi sekuler maupun atas nama agama.
Memang orang-orang yang punya uang dan juga yang memaksakan diri untuk punya uang (berutang), berlomba-lomba untuk bisa menjadi pejabat. Maka di sini berlakulah prinsip ekonomi. Modal yang amat besar menjadi kewajiban, dan setelah menjabat maka para pejabat ini tentu akan memusatkan pikirannya untuk merampok atau mengkorup uang rakyat agar balik modal, dan merampok uang rakyat lebih banyak lagi untuk mempersiapkan modal kampanye lima tahun ke depan.
Sebab itu, di tengah-tengah rakyat kecil sekarang ini ada pertanyaan usil namun bernas yang mengatakan, “Apa perbedaan pejabat dahulu dengan pejabat sekarang?” Dan jawabannya adalah: “Jika pejabat dahulu harus dipenjara dulu sebelum jadi pejabat (maklum zaman penjajahan), maka para pejabat sekarang harus menjabat dahulu baru kemudian dipenjara (karena korupsi).”
Para pejabat seperti ini memang sangat berkepentingan dengan rakyat yang bodoh. Sebab itu, mayoritas rakyat Indonesia dibiarkan tetap dalam kebodohannya. Naiknya anggaran pendidikan sampai dengan 20% tidaklah berarti apa-apa di dalam mencerdaskan rakyat, karena sudah terlebih dahulu dikorup oleh para pejabatnya. Ini terjadi di semua sektor.
(bersambung/rd)