Eramuslim – 25 hari sudah Arab Saudi CS memutuskan hubungan dan memboikot Qatar dari negara-negara di kawasan Teluk. Akan tetapi tahukah kita target sebenarnya dari upaya mengucilkan Doha yang telah memainkan peranan besar dalam berbagai konflik di kawasan Dunia Arab, termasuk Palestina dan Masjid Al Aqsha.
Dr. Muhsin Shalih mencoba menganalisis konteks regional dan internasional (khususnya Amerika) terhadap krisis “mengejutkan” dengan Qatar dengan tiga rute berbeda. Apakah ada agenda Amerika dan Israel yang ingin mengatur dan menciptakan stabilitas politik dan keamanan jauh di kawasan?
Berikut ulasannya untuk Anda:
Sekenario Pertama: Menutup “Arab Spring”
Revolusi Arab adalah gerakan perubahan. Instabilitas di kawasan Arab ibarat adalah masakan yang dianggap sudah matang dan cukup, dan kini giliran untuk ditutup. Baik di Irak, Suriah, Yaman, dan Libia. Selanjutnya menghitung keuntungan bagi gerakan Revolusi Balik seperti di Mesir.
Karena kasus Palestina “akut” memiliki daya sihir luar biasa dalam meledakan situasi dan memprovokasi massa serta memobilisasi massa melawan proyek zionisme bahkan melawan rezim-rezim Arab sendiri yang selama ini dianggap tak berdaya atau mengabaikan tugasnya melawan Israel, maka kasus Palestina ini tidak akan bisa ditutup atau dikendalikan siapapun.
Karena itu, harus ada usaha menaklukan dan mengendalikan Hamas, melemahkannya atau memarginalkannya baik dari dalam dan luar negeri. Lebih baik lagi jika bisa menghabisi Hamas serta menguasai kembali Jalur Gaza.
Karena itu, dalam konteks kawasan regional, negara-negara pengembargo berusaha menaklukan Qatar agar sejalan dengan politik negara-negara kawasan dalam memerangi “Arab Spring” dan menutup kasus ini, serta memerangi kelompok Islam politik moderat yang menjadi pimpinan gerakan Arab Spring ini.
Mereka juga mencoba menekan dan membungkam jaringan media Al Jazeera yang memiliki popularitas dan pengaruh massa yang luar biasa di dunia Arab. Dan pada saat yang sama menekan Hamas sebagai representasi garis moderat Islam Palestina untuk membuka jalan bagi Mahmud Abbas atau mempersiapkan kedatangan Muhammad Dahlan yang didukung Emirat dan Mesir ke Jalur Gaza.
Sekenario ini juga sejalan dengan politik Saudi dan Emirat secara resmi terhadap “Arab Spring” khususnya di masa mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz dimana perannya menurun bersamaan dengan menjabatnya Raja Salman bin Abdul Aziz. Politik mereka agaknya yakin bahwa stabilitas di negara-negara Teluk terkait dengan perang atas kelompok Islam politik dan bagaimana semakin menekan dan menguasai rakyatnya serta memperkuat koalisi dengan Amerika dan menggelar perdamaian dengan Israel.
Sekenario kedua : Menciptakan Ketegangan Baru
Ada kelompok yang beranggapan bahwa boikot terhadap Qatar berdasarkan perhitungan yang salah. Mereka akhirnya tak mampu mengendalikan krisis dan hasilnya. Amerika memberikan persetujuan namun mereka sulit keluar dari krisis mereka.
Boikot ini malah menimbulkan krisis baru di Teluk dan akan berubah menjadi krisis baru yang menguras energi dan kekayaan mereka dan hanya berpihak kepada hegemoni Amerika dan Israel serta normalisasnya dengan negara-negara Teluk.
Dalam sekanario ini tak ada usaha menutup kasus-kasus di Timur Tengah namun menjerumuskan dalam krisis baru di kawasan yang semakin memperlemah kawasan Arab dan Islam.
Karena itu, negara-negara Teluk yang memutus hubungan dengan Qatar pasti menolak sekenario ini karena akan menjerumuskan mereka dalam krisis baru. Mereka memutuskan hubungan dengan harapan bisa menciptakan stabilitas, bukan sebaliknya.
Namun faktanya, justru sekenario inilah yang terjadi baik oleh krisis sebelumnya atau krisis baru dengan Qatar;
1. Semua krisis yang sudah ada di Timur Tengah sampai saat ini tidak ditutup. Seperti situasi di Irak sejak 2003. Solusi yang ada tidak menyelesaikan dari akarnya bahkan semakin memperparah dan menciptakan ledakan baru baik karena faktor etnis, sekterian atau lainnya. Korupsi yang ada makin parah dan memperlemah pemerintah pusat.
2. Mereka yang menyerukan agar membagi kawasan sesuai dengan peta baru didasarkan kepada prinsip etnis dan sekte agama tidak mengecualikan negara-negara Teluk. Apa yang terjadi sejak beberapa tahun di Irak, Suriah, Yaman dan Libia (sebelumnya di Sudan) mengharuskan agar melihat serius terhadap rencana pembagian dan pemetaan kawasan Timur Tengah ini. ada kecenderungan politik Amerika secara rahasia mengarah kepada rencana ini.
Masih ingat rencana orientalis terkenal Bernard Lewis dan tulisan Ralf Peter di majalah Amerika tahun 2006 soal “perbatasan wilayah darah (etnis)” dan artikel Alov Ben, pimred koran Haaretz Israel di awal revolusi Arab tahun 2011. Sebagian besar tulisan-tulisan orientalis menyerukan “pembagian negeri-negeri Arab” yang terkena krisis, terutama di Saudi.
3. Sikap Amerika seperti berjudi dan hanya membuka pintu sebagian. Seakan tindakan negara pemboikot Qatar mendapat lampu merah secara eksplisit dari Amerika. Sebab pemboikotan terhadap Qatar terjadi pada 24 Mei 2017 tiga hari setelah kunjungan Presiden Amerika Donald Trump ke Saudi. Statemen dan twit pertama Trump mendukung tekanan kepada Qatar. Sementara kementerian luar negeri Amerika tetap menyampaikan sikap politik resmi yang ingin mengatasi krisis dan tidak memperparah.
Di hari berikutnya setelah Qatar ditekan, pada 25 Mei 2017, Kongres Amerika mengajukan RUU sanksi negara-negara dan lembaga yang mendukug Hamas. Qatar disebut tanpa menyebut negara Arab lain, selain Iran yang hanya formalitas saja.
Ini seperti kasus Sadam Husain yang mendorong invasi Kuwait tahun 1990. Namun di masa selanjutnya justru situasi lebih berpihak kepada Amerika.
4. Pihak Amerika dan Israel menjadi paling diuntungkan dalam krisis Teluk meski tak harus ada benturan militer besar. Minimal hegemoni Amerika makin kuat di kawasan. Atau negara-negara Teluk akan semakin terseret dalam kerjasama senjata dengan Amerika sehingga mau tidak mau akan membangun hubungan normalisasi dengan Israel.
Amerika sudah meneken kesepakatan jual beli senjata dengan Saudi senilai 460 milyar dolar dan Saudi akan menjalankan undang-undang JASTA yang secara langsung membidik kelompok Islam yang dianggap garis keras.
5. Emirat mengisyaratkan bahwa krisis bisa jadi akan berlangsung selama bertahun-tahun seperti pernyataan Menlu Anwar Qarqasy yang meminta gerak-gerik Qatar diawasi dan melibatkan kekuatan barat agar tidak menjalin kerjasama dengan Turki atau Iran.
Ini berbahaya sebab bisa jadi akan menimbulkan intervensi asing menekan Qatar di masa mendatang.
Sekenario ketiga
Negara-negara yang mengembargo Qatar berharap agar Qatar segera merespon tekanan dan tuntutan mereka. Namun ternyata Qatar mampu meredam situasi, tenang dan percaya bisa mengatasi krisis. Bahkan mampu mencarikan solusi alternatif dengan cepat. Keempat negara yang mengembargo kemudian tampak kelabakan.
Meski keempat negara mengambil langkah yang sama, terkait sanksi, kampanye media, namun mereka masih bingung menentukan langkah di “hari berikutnya”. Artinya mereka kebingunan menebak sekenario. Sampai lebih dari dua pekan sejak boikot, mereka masih gagal menentukan dakwahan yang meyakinkan terhadap Qatar, dan gagal pula menentukan tuntutan dan syaratnya.
Publik masih bertanya-tanya bagaimana negara Arab tega melakukan embargo kepada negara Arab saudaranya tanpa menjelaskan apa yang diinginkan. Bahkan Kementerian Luar Negeri Amerika sendiri kaget karena negara-negara Arab itu tak menjelaskan secara terang tuntutan-tuntutannya terhadap Qatar.
Adapun daftar teroris yang diajukan kempat negara (59 person dan 12 organisasi) masih membutuhkan bukti meyakinkan bahkan sebagian besarnya Qatar tak ikut campur dan bertentangan dengan standar/tolok ukur dunia internasional soal pengertian terorisme.
Yang menggelikan, Emirat akan menghukum setiap mereka yang simpati kepada Qatar dengan tahanan 15 tahun penjara.
Sementara statatemen Menlu Saudi Adil Jabir yang anti dan memusuhi Hamas justru berpihak kepada Qatar. Terlihat jelas bagaimana agenda sesungguhnya dari boikot yang sebenarnya manterget parlawanan Palestina yang selama ini mendapatkan penghargaan dan penghormatan public dan massa yang luas. Bisa jadi di perjalanan, Qatar akan melakukan inisiatif untuk dialog menyelesaikan persoalan.
Akhirnya, krisis baru soal Qatar sama sekali tidak berpihak kepada negara-negara pemboikot bahkan akan berimbas negative kepada popularitas mereka dan stabilitas di kawasan. Selain itu juga membuka peluang intervensi asing – khususnya Amerika. Kekayaan kawasan Timur Tengah bisa jadi terancam terkuras di bawah hegemoni Amerika. Karena itu, dialog tenang menyelesaikan persoalan antar internal Arab harus menjadi langkah prioritas. (PIP/Ram)