Di tengah kota Banda Aceh, sampai sekarang terdapat satu buah kapal besar berbobot 2.600 ton dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan panjang 63 meter yang teronggok di tengah daratan. Ini merupakan salah satu bukti kedahsyatan tsunami yang menerjang Aceh. Kapal besar ini dulunya adalah Kapal PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue – tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami. Inilah kisah kapal itu:
PLTD Apung PLN pun Enggan Menabrak Masjid
Pasca tsunami, warga kampung Punge Blangcut, Kecamatan Jayabaru, Banda Aceh takjub menyaksikan keberadaan sebuah ‘kapal raksasa’ mendarat di bekas reruntuhan kampung mereka. Kapal baja berbobot 200 ton itu teronggok begitu saja, melindas beberapa bangunan rumah milik warga.
Kapal raksasa seluas 1.600 meter persegi itu sesungguhnya adalah Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung milik PLN yang semula ditambatkan di Pelabuhan Ulee-Lheue.
Diperkirakan, PTLD Apung itu telah terhempas sejauh empat kilometer dari lokasi awalnya. Ia terdampar begitu saja di atas puing-puing rumah penduduk setelah terseret derasnya ombak tsunami dan menghantam tiang listrik, menghancurkan rumah-rumah penduduk, serta menyeret sejumlah korban sebelum terhenti di kampung Punge Blangcut. Sekitar tujuh dari sebelas kru PTLD yang berada di dalamnya hilang. Seorang lagi selamat, setelah terapung pada sebuah papan.
“Siapa yang tak heran, kapal sebesar dan seberat ini bisa sampai di sini. Inilah bukti betapa dahsyatnya air bah itu,” ujar Musa, 39, warga Punge Blangcut, yang masih menyatakan keheranannya.
Seorang warga, Muhammad Nasir, 58, mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri saat gelombang besar yang datang bergulung-gulung itu menyeret PLTD apung. Saat terjadi gempa bumi, Nasir tengah berada di kedai kopi, tak jauh dari rumahnya. Selang beberapa saat, dia mendengar suara teriakan dari arah laut yang adanya air pasang. Benar saja, sebuah gelombang dahsyat tampak di kejauhan, bergulung-gulung ke arah kota. Maka, segeralah dia melarikan diri, menghindar dari kejaran gelombang. Sembari berlari, Nasir sesekali menengok ke arah gelombang. Hampir tak percaya, gelombang itu begitu besar dan dahsyat, melibas segala yang dilaluinya. Lebih dahsyat lagi, ia melihat sebuah PLTD apung raksasa yang terseret oleh gelombang.
“Kapal itu seperti terapung-apung saja mengikuti gelombang. Waktu sampai di kampung Punge Blangcut, gelombang telah mereda, sehingga laju kapal itu akhirnya berhenti setelah tersangkut bentangan kabel listrik. Begitu beratnya menahan beban, tiang listrik itu tak kuat dan akhirnya roboh. Namun, kabelnya tidak putus,” tutur Nasir.
Di tengah rasa duka mendalam yang menyelimuti warga Kampung Punge dan Kota Banda Aceh pada umumnya, mereka masih membincangkan soal kapal PLN itu. Menurut mereka, ada keanehan yang terjadi saat kapal itu terseret ke arah kota. Benda berat itu selalu berbelok arah, saat hampir menabrak masjid-masjid yang dilewatinya.
“Padahal kalau ditarik garis lurus dari Ulee-lheue di mana kapal raksasa itu dulunya ditambatkan ke Punge Blangcut, kapal itu seharusnya menabrak beberapa masjid, antara lain Masjid Babuljannah di Kampung Punge. Tapi herannya, beberapa puluh meter sebelum sampai masjid, kapal itu berbelok arah ke selatan, sehingga tak jadi menabrak masjid-masjid itu.” ujar seorang warga.
Gelombang Terbelah Selamatkan Dayah
Sebuah dayah atau pesantren yang terletak di Krueng Raya juga selamat. Dayah Darul Hijrah berdiri di tepi pantai. Dari bangunan sederhana itu, pemandangan ke tepi pantai demikian indah. Deburan ombak telah menjadi musik alam yang begitu merdu di telinga, mengiringi pengajian yang dilantunkan santri-santrinya.
Namun saat musibah gempa dan tsunami melanda, sebagian besar bangunan di sekitar dayah hancur berantakan. Namun alhamdulillah, dayah itu tetap berdiri dengan kokoh. Dayah Darul Hijrah masih tetap seperti semula. Dayah dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya pun selamat. Menurut beberapa saksi mata, saat gelombang tsunami menerpa daratan, jalannya begitu kencang. Namun ketika mendekati dayah, gelombang melemah dan terbelah. Dayah itu pun luput dari hantaman gelombang raksasa itu.
Selain Darul Hijrah, dayah lain yang juga diselamatkan Allah adalah Dayah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dayah yang berdiri hanya beberapa ratus meter saja dari laut yang menjadi pusat tsunami itu selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga para santrinya, tak seorang pun menjadi korban.
Saat tsunami datang, menurut beberapa saksi mata, di dalam pesantren seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti. Ada pula yang membaca al-Qur’an. Ketika gelombang air yang begitu kencang itu mendekati Dayah Nasrul Muta’alimin, gelombang pecah dan air hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk rumah panggung.
Lalat pun Segan Menghinggapi Mayat
Menurut Ustadz Arifin Ilham, saat mengunjungi Aceh pasca musibah, dirinya tidak mencium bau buruk yang keluar dari mayat-mayat, melainkan mencium wewangian. “Mereka yang meninggal karena musibah ini termasuk dalam barisan para syuhada,” demikian Ustadz Arifin Ilham. Temuan Ustadz yang dikenal karena metode dzikir berjamaah itu dibenarkan oleh kenyataan di lapangan. Setelah dua pekan lebih musibah menghantam Aceh dan menyebabkan banyak warganya meninggal, belum ada warga yang selamat terjangkiti kolera.
Lalat-lalat yang lazim mengerubungi mayat pun tidak tampak. Padahal jika lalat mengerubungi mayat, hal ini akan mempercepat penyebaran virus atau bakteri yang sangat mungkin mengancam keselamatan mereka yang selamat.
Dokter Mastanto yang menjadi relawan dari Posko Keadilan Peduli Umat (PKPU) menyatakan keheranannya soal lalat-lalat ini. “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya. Sampai hari ke 40, tidak ada kabar penyakit menular yang diakibatkan virus dari mayat berjangkit di Aceh. Ini aneh.
Petunjuk Aneh
Hendra dan Heri sudah beberapa hari mencari temannya, Hendi (26) seorang wartawan terbitan Medan. Hendi tinggal di Kajhu, Aceh Besar, sebuah wilayah yang sangat parah dilanda gelombang tsunami.
Acehkita.com menuliskan, mereka mulai lakukan pencarian sejak pagi hari, sejak hari pertama. Hendra sendiri mengaku telah mengubek-ubek Desa Kajhu. Dia bertanya kepada setiap orang yang selamat kalau-kalau ada yang melihat temannya, Hendi. Namun tak seorang pun yang dapat memberi jawaban.
Semua orang yang ditemui Hendra terlihat sibuk dengan dirinya sendiri, sebab mereka juga mencari sanak keluarganya. Hampir setiap jenasah yang dilihat Hendra, dibalik, kalau-kalau itu adalah Hendi. Dia bahkan tak segan-segan membuka kain penutup jenasah di masjid dan di pinggir jalan.
“Setiap lokasi pengungsian pun kami datangi,” kata Hendra dan Heri. Pencarian bahkan dilakukan di rumah sakit, namun sejauh ini hasilnya masih nihil.
Suatu hari di pertengahan Januari, keduanya berencana mencari kembali ke Desa Kajhu, arah timur Kota Banda Aceh. Sekitar pukul 09.00 pagi, keduanya berangkat menggunakan mobil mengitari setiap ruas jalan. Timbunan sampah bekas tsunami masih menggunung, demikian pula dengan jenasah yang belum terevakuasi.
Singkat cerita, pencarian hari berlangsung hingga matahari tergelincir di ufuk barat. Tanah yang mereka pijak mulai terlihat remang. Dan keduanya memutuskan untuk kembali ke mobil dan melaju melewati rintangan balok kayu dan runtuhan rumah yang masih berserakan di jalan. Mobil dipacu Hendra perlahan.
Setelah 30 menit di jalan, dari kejauhan Hendra melihat seorang laki-laki berdiri di atas jembatan Krueng Cut, menyetop mobil mereka. Belum terlihat jelas wajah lelaki itu. Tapi saat mobil semakin dekat, samar-samar terlihat sosok Hendi, teman yang mereka cari-cari selama ini. Mobil dihentikan Hendra. Dia turun diikuti Heri. Keduanya melonjak girang melihat yang dicari sudah berdiri di depan mata.
Mereka bertanya kepada Hendi ke mana saja dia selama ini. Menurut Hendra, saat itu Hendi mengaku berada di sebuah lokasi pabrik pembuat batu bata. Persisnya di dekat pohon kelapa. “Namun ketika kami ajak malam itu dia menolak ikut,” katanya.
“Aku tunggu kalian di sana besok,” katanya menirukan Hendi.
Keesokan paginya, mereka pun mencari lokasi pabrik batu bata yang dikatakan Hendi. Hendra bahkan sempat bertanya kepada pos militer yang ada di kawasan itu, kalau saja mereka tahu di mana Hendi mengungsi. Namun aparat mengatakan, di kawasan itu tidak ada seorang pun yang selamat.
Hendra bergegas melintasi Desa Kajhu dan melihat sekeliling di mana letak pabrik batu bata. Tapi sia-sia, yang terlihat hanya sebuah hamparan bekas rumah yang sudah rata tinggal pondasi. Di sana-sini hanya ada hamparan puing-puing. Di kejauhan tampak Masjid al-Maghfiroh di tepi Jalan Krueng Cot yang kini berdiri sendirian di wilayah itu. Setelah sekian lama mencari, mereka lalu melihat sebatang pohon kelapa di tengah hamparan puing itu.
Kedua pemuda ini pun berjalan mendekat. Saat itulah mereka melihat bekas pabrik batu bata yang sudah runtuh diterjang tsunami. Di sana lah mereka celingukan mencari sahabatnya itu. Hendra mulai penasaran dan mengelilingi pabrik batu bata itu sambil menunggu Hendi datang.
Sekian lama menunggu, Hendi tak juga nampak. Mereka mulai gelisah saat mata mereka menatap sesosok jenasah tepat di bawah pohon kelapa. Keduanya mendekat, jenasah itu dibalik posisinya dan betapa terkejutnya mereka setelah melihat bahwa jasad itu adalah Hendi. Mereka pun lalu membalikkan sebuah jenasah yang berada di sisi Hendi dan ternyata mereka kenal sebagai adik Hendi.
Dengan wajah tegang, Hendra dibantu Heri mengangkat jenasah kakak beradik itu ke dalam mobil. Mereka kemudian kembali ke Banda Aceh dan mengurus jenasah tersebut bersama paman Hendi. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)