Sepuluh tahun lalu, hari kedua tragedi tsunami menerjang Aceh Darussalam. Ribuan orang besar dan kecil menemui ajal disapu ombak besar, airnya berwarna hitam dan panas menyengat kulit–yang oleh beberapa lembaga riset dan laboratorium forensik luar negeri yang kredibel, dari Jepang dan India namun tidak dieskpos ke umum–disebutkan mengandung limbah micro nuklir. Jutaan ratusan ribu warga Aceh dan sekitarnya tidur berdesakan di dalam Meunasah dan Masjid dalam kedinginan, kehampaan, kesakitan, dan keputus asaan. Hanya Allah swt harapan mereka.
***
Air Menghindari Makam Malikussaleh
Malikussaleh (1270-1297M) adalah Sultan sekaligus pendiri Kerajaan Islam Samudera Pasai. Dialah yang membawa Islam tidak saja di Aceh, melainkan juga ke Asia Tenggara. Malikussaleh terkenal sebagai raja yang berwibawa dan disegani rakyatnya. Bukan karena kediktatoran atau kekejamannya, melainkan karena sikap ketawadhuannya. Rakyat begitu mencintai Sultan sekaligus ulama, itulah Malikussaleh.
Makam Malikussaleh berada di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Lokasi makam itu sendiri hanya berjarak sekitar satu kilometer dari garis pantai. Di samping makam yang teramat sederhana itu, terdapat juga makam putranya, Malikuddhahir (1297-1326 M).
Saat tsunami menerjang desa itu, ratusan warganya menyelamatkan diri. Itulah yang dilakukan sekitar 50 warga Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Minggu kelabu lalu.
“Kami tidak sempat lagi lari menjauh. Ketika mengetahui air laut naik ke daratan, saya baru selesai mandi. Saya lihat di luar, air sudah mendekati rumah kami,” ujar Ibrahim Yakob, 29, penduduk Desa Beuringen yang menyelamatkan diri di Makam Malikussaleh yang ada di desa tersebut. Ibrahim segera membawa kabur istri dan kedua anaknya. Tak ada waktu untuk kabur lebih jauh. Air sudah sedemikian dekat dan deras. Mereka segera masuk ke dalam Komplek Makam Malikussaleh. Berdesakan dengan puluhan warga lainnya.
Ayahnya, M Yakob Saleh, 62, yang telah 16 tahun menjadi juru kunci makam Malikussaleh, juga sudah berada di sana. Sementara ibunya, Marliah, 76, dan adik ayahnya, Ti Saliyah, 56, telah menyelamatkan diri jauh ke depan bersama rombongan warga lainnya.
Belakangan, kedua orang itu ditemukan meninggal dunia; bersama empat korban lain dari Desa Beuringen.
Ibrahim dan ayahnya, M Yakob, tidak dapat menjelaskan secara akal sehal mengapa air laut hanya masuk setinggi 15 sentimeter di komplek pemakaman Raja Samudera Pasai itu. Padahal di luar kami, air sudah setinggi dua meter. Rumah-rumah di sekitarnya sudah rubuh. Air berputar-putar di sekitar Kompleks Makam Malikussaleh, tutur M Yakob yang dibenarkan sejumlah warga lainnya.
“Kami melihat air begitu tinggi, bagai tembok hitam yang meluncur kencang, menabrak apa saja yang ada di depannya, melumatnya hingga hancur, rumah-rumah, bangunan, pepohonan, semua yang ada di sekitar kami hancur,” papar Ibrahim.
“Tapi ada sesuatu yang aneh. Saat air itu mendekati kompleks Makam Malikussaleh, tembok air itu pecah, membelah dan hanya berputar-putar di sekeliling kompleks makam. Jika di luar kompleks makam air sudah setinggi dua meter, di dalam sini hanya masuk setinggi 15 sentimeter. Ini aneh. Allahu Akbar. Semua warga yang menyelamatkan diri ke makam ini melihat kebesaran Allah,” lanjutnya.
Desa Beuringen yang dihuni 112 kepala keluarga, terletak tidak sampai dua kilometer dari bibir pantai. Kendati demikian, gelombang tsunami tidak setinggi di Banda Aceh atau Meulaboh meskipun di desa tersebut, puluhan rumah juga hancur disapu gelombang.
Kompleks Makam Malikussaleh selamat, namun seluruh bangunan yang berada lebih jauh dari gerais pantai tidak ada yang luput dari terjangan gelombang. Sementara makam itu sendiri seperti tak tersentuh air. Kebesaran Allah SWT lagi-lagi diperlihatkan. Janji Allah senantiasa benar. Ia akan selalu melindungi orang-orang shalih, ketika hidup dan juga mati. Hingga air bercampur lumpur yang bagaikan tembok dan meluncur deras pun enggan untuk menekati makamnya.
Makam Ratu Nashriyah Juga Selamat
Kondisi Makam Ratu Kerajaan Pasai Nahrisyah di pantai Aceh Utara di Nangroe Aceh Darussalam juga selamat dari amukan tsunami. Bagi warga sekitar, situs sejarah yang dilindungi negara ini menjadi kebanggaan.
Gelombang Tsunami yang menyapu sebagian besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam nyaris menghancurkan semua peninggalan sejarah. Di antara yang tersisa adalah Makam Ratu Kerajaan Pasai Nahrisyah di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudra, Aceh Utara, NAD. Ratu Nahrisyah adalah cucu dari Sultan Malikus Saleh, pendiri kerajaan Islam Samudra Pasai atau Pase.
Ratu Nashriyah, sama seperti Malikussaleh, adalah seorang ratu yang juga rendah hati dan disayang rakyatnya. Sebagai seorang ratu, Nashriyah tidak pernah bersikap sombong. Ia memandang semua manusia itu sama, sederajat, di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya.
Padahal kompleks makam para raja dan ratu kerajaan Samudra Pasai ini berhadapan langsung dengan laut. Saat kejadian Tsunami, hanya bagian pagar kompleks makam yang rusak. Sedang bagian inti makam para raja dan ratu masih utuh. Padahal, sebagian besar rumah milik warga di sekitar situs kerajaan Islam tertua di nusantara ini hancur.
Bagi warga sekitar, situs sejarah yang dilindungi undang-undang ini menjadi kebanggaan. Peninggalan ini bukan saja menjadi bukti sejarah penyebaran Islam pertama di Indonesia. Tapi, juga menjadi monumen kejayaan Islam di Tanah Rencong.
Meunasah Papan Tetap Utuh
Daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam biasa ramai. Sejumlah perkampungan yang berada di garis pantai itu selalu dipenuhi anak-anak yang turun bermain di bibir laut.
Di pesisir itu berdiri Meunasah An-Nur. Di hari-hari biasa, meunasah sederhana yang terbuat dari papan itu selalu ramai oleh suara anak-anak yang mengaji. Malam, hari, meunasah itu juga selalu dipakai untuk sholat tahajud.
Di hari Minggu pagi (26/12/04), bumi tiba-tiba bergoyang keras. Gempa. Warga Krueng Raya segera keluar dari rumah. Kepanikan berubah menjadi ketakjuban tatkala mereka melihat air laut surut demikian jauh ke dalam. Pesisir menjadi lebih luas. Ikan-ikan berukuran besar menggelepar. Beramai-ramai anak-anak dan orang dewasa berlari ke pantai, memunguti ikan-ikan yang menggelepar itu.
Walau demikian, Taufik bin Ahmad, Ustadz yang biasa mengajar di Meunasah An-Nur merasa ada sesuatu yang tidak baik segera terjadi. Instingnya segera bekerja. Ia berteriak-teriak agar orang-orang tidak berlari kea rah laut dan memunguti ikan.
“Jangan. Jangan ke pantai,” teriaknya. Teriakan itu kalah ramai dengan suara orang-orang yang berlarian ke pantai.
Taufik segera berlari pulang. Ia mengajak isteri dan anaknya untuk segera menjauhi pantai. Meski tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar.
Tak berapa lama, ombak yang seperti tembok tingginya datang bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang, dan rumah-rumah. Taufik pun terpisah dari anak dan istrinya. Istri Taufik dan anaknya telah masuk ke dalam meunasah.
“Saya yakin, Allah tidak akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan meunasah dan orang-orang di dalamnya,” papar istri Taufik
Keyakinan itu terbukti. Meunasah itu tak apa-apa. Meunasah itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri semula, berikut orang-orang yang menyelamatkan diri di dalamnya.
Dari dalam meunasah, orang-orang yang ada di dalamnya merasakan hebatnya hantaman ombak tsunami dan pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi berkat kekuasaan Allah, meunasah itu selamat. Begitu juga anak dan istri Taufik.
Beberapa jam setelah air surut, suami, istri, dan anak itu bertemu. Meunasah sederhana yang terbuat dari papan itu utuh, walau telah diseret ombak dan terhantam benda-benda keras lainnya.
Beda sekali dengan tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar yang juga berdiri di Krueng Raya. Tangki-tangki yang terbuat dari besi dengan bobot berton-ton itu telah hancur tak berbentuk. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)