Serial tulisan tentang 10 Tahun Tragedi Tsunami yang mendera Aceh sengaja dituliskan kembali agar bangsa ini yang terkenal memiliki memori pendek, tidak pernah lupa dengan teguran Allah swt, bisa kembali mengingat tanda-tanda kebesaran Allah swt, dan mengambil ibrahnya.
***
Gelombang Menyurut di Masjid Raya
Jika Jakarta punya Monas, Yogyakarta punya keraton, Bukittinggi punya jam gadang, maka Banda Aceh punya Masjid Raya Baiturrahman. Rumah yang Maha Penyayang.
Jauh sebelum gempa dan tsunami terjadi, tiap hari Masjid Raya selalu dikunjungi wisatawan. Baik wisatawan asing maupun lokal. Bahkan seringkali, masjid ini menjadi tempat persinggahan orang-orang Aceh sendiri yang tengah melakukan perjalanan. Lokasi masjid ini memang sangat strategis, terletak di pusat kota. Jika kita menghadap kiblat, maka sebelah kanan, kiri, dan belakangnya adalah Pasar Aceh. Di depannya berdiri pula ruko-ruko dan warung makan. Hotel Kuala Tripa yang termegah di Aceh kala itu hanya berjarak seratusan meter dari pintu gerbang sebelah selatannya.
Ahad pagi, 26 Desember 2004. Seperti hari Ahad sebelumnya, setelah menunaikan sholat subuh, Muhammad Abdullah (nama samaran) sudah berada di Masjid Raya untuk siaran. Penyiar Radio Gema Baiturrahman, stasiun radio swasta yang mengambil salah satu ruangan di masjid raya sebagai kantor itu, sejak subuh telah pergi meninggalkan isteri tercinta dan seorang anaknya yang masih kecil di rumah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa itulah kali pertemuan terakhirnya dengan orang-orang yang sangat dicintainya itu.
Baru beberapa saat selesai siaran, bumi tempatnya berpijak bergoyang. Awalnya sedikit, tapi lama-kelamaan besar dan lama. Dengan sigap Abdullah, demikian ia biasa disapa, mengambil sepeda motornya dan melarikan ke rumah yang tidak sampai satu jam perjalanan. Setibanya di jalan raya, orang-orang sudah banyak berlarian menjauhi garis pantai. Abdullah berusaha menghindari orang-orang yang berlarian ke arahnya.
“Air! Air laut naik! Air laut naik!,” teriak orang-orang yang berlarian itu. Jalanan bertambah penuh dengan orang, berlarian ke pusat kota. Abdullah tidak sanggup lagi untuk melawan arus. Ia akhirnya terbawa arus, menjauhi rumahnya. Hatinya luar biasa cemas, ia tidak tahu bagaimana nasib isteri dan anaknya di rumah.
Orang-orang banyak yang berlari menyelamatkan diri ke dalam Masjid Raya. Sejumlah orang naik hingga atap masjid. Tak berapa lama gelombang besar, mirip dinding tinggi berwarna hitam pekat terlihat melabrak daerah Lampaseh, belakang Pasar Aceh. Di atas gelombang besar itu rumah, mobil, dan puing-puing terlihat terangkat ke atas.
Orang-orang yang berada di sekitar masjid segera mengumandangkan adzan dan takbir. Udara dipenuhi suara gemuruh air dan suara takbir.
Aneh bin ajaib, saat mendekati pagar bagian belakang masjid, gelombang tinggi itu tiba-tiba melandai dan berkurang derasnya. “Air yang tadinya tinggi dan sangat deras, saat mendekati Masjid Raya berubah seketika menjadi landai. Hanya pagar pelataran masjid yang rusak. Air memang makin tinggi, tapi hanya masuk di dalam masjid sekitar 15 cm tingginya,” ujar Muhammad Ibrahim, 46, warga Lampaseh yang mengaku tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.
“Bukan hanya saya, tapi orang-orang yang berkumpul di bagian belakang masjid juga melihat itu. Tadinya saya tidak percaya. Tapi setelah sekarang saya tahu ada banyak masjid yang selamat, utuh, dari terjangan tsunami, baru saya yakin. Hanya kekuasaan Allah yang bisa membuat itu,” tambahnya.
Setelah air surut, pelataran Masjid Raya yang tadinya bersih dan asri kini dipenuhi lumpur, puing-puing, dan mayat. Orang-orang yang selamat di dalam masjid segera mengevakuasi mayat-mayat ke dalam masjid.
“Ada seratusan jumlahnya, malam itu kami tidur di masjid bersama mayat-mayat. Walau gelap karena listrik padam, kami sama sekali tidak takut,” ujar Iswadi, salah seorang Khadim Masjid Raya yang saat kejadian tengah berada di Asrama Haji di Lampineun, Banda Aceh.
Sepuluh tahun telah berlalu, Muhammad Abdullah yang telah kehilangan isteri dan anaknya yang masih kecil sekarang telah menikah dan memiliki keluarga kembali. Semoga berbagahagia.
Rahmatullah, Salah Satu Masjid Ajaib
Selama ini pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, adalah kawasan wisata yang tiap masa liburan selalu padat dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan, penduduk Banda Aceh dan kota-kota lain yang ada di sekitarnya, selalu berkunjung untuk menikmati birunya air laut dengan ombaknya yang tenang dan menghanyutkan perasaan.
Selain itu, kawasan Pantai Lampuuk juga menjadi tempat hunian sekitar 5.000-an orang dengan fasilitas pemukiman yang cukup lengkap, pantas dinikmati kelas menengah atas.
Pada hari Minggu pagi tepat sepuluh tahun silam, 26 Desember 2004, bencana itu datang begitu mendadak. Gempa keras menggoyang wilayah itu, sebagian besar penduduk keluar rumah menyelamatkan diri. Tiba-tiba setelah gempa, garis pantai menyurut jauh beberapa meter ke dalam laut. Ikan-ikan menggelepar di pantai. Itu anya terjadi sekian menit.
Tiba-tiba gelombang pasang dengan kekuatan dahsyat tiba-tiba menerkam, menggulung, dan melemparkan seluruh isi kawasan pantai hingga ratusan meter ke arah daratan. Kekuatannya teramat dahsyat, sehingga tak satu pun yang sanggup mencegahnya. Kecepatannya pun setara dengan kecepatan pesawat jet.
Pohon-pohon cemara berusia puluhan tahun yang berdiri kokoh di pinggir pantai, tercerabut dari akarnya hingga akhirnya tumbang dan terseret puluhan meter dari asalnya tumbuh. Pohon cemara yang mampu menahan terjangan gelombang pun, kulitnya yang keras dan tebal terlihat mengelupas. Ranting-rantingnya hingga ketinggian 10 meter patah dan meranggas. Tiang listrik dan telepon juga bertumbangan, melintang di atas badan jalan beraspal. Demikian pula kondisi badan jalan, berkilo-kilometer terkikis aspalnya hingga ketebalan 10 centimeter.
Jembatan-jembatan ambruk tak kuasa menahan dorongan kekuatan gelombang pasang. Menara-menara telekomunikasi juga bertumbangan. Sementara, rumah-rumah hancur luluh berantakan dan rata dengan tanah.
Bahkan, sebuah rumah permanen dua tingkat, terpotong begitu “rapi” persis di batas tingkat, sehingga bagian tingkat atasnya harus terlempar sejauh 100 meter dan teronggok di atas jalanan beraspal.
Kawasan pantai nan indah permai itu pun berubah menjadi daerah yang mencekam. Sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir yang tandus, penuh horor dan kotor oleh puing-puing yang berserakan. Nyaris tak tersisa. Hanya ada sebuah masjid yang tetap berdiri kokoh. Itulah Masjid Rahmatullah.
Sebuah bangunan berkubah, bercat putih, tampak tegak menjulang. Meski di beberapa dinding tampak bolong dan beberapa bagiannya retak, masjid itu masih berdiri kokoh.
“Inilah rumah Allah, segala mukjizat bisa terjadi. Lihatlah di kiri-kanannya, semuanya hancur berantakan. Tapi, masjid ini masih kokoh berdiri,” kata seorang pria yang dengan mulut terus berdecak kagum memandang masjid yang diresmikan 12 September 1997 oleh Gubernur DI Aceh Prof. Syamsudin Mahmud itu.
Masjid Rahmatullah hanyalah salah satu dari sekian masjid yang tetap tegar dan berdiri kokoh, meski telah diterjang tsunami. Padahal, lokasi masjid amat dekat dengan bibir pantai. Konstruksi bangunannya pun tak jauh beda dengan bangunan lain. Lokasi Masjid Rahmatullah sendiri sekitar 500 meter dari bibir Pantai Lampuuk.
“Ini semua karena ada yang menjaga, yang di atas sana,” ujar seorang penduduk sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah kubah. “Ini semua adalah peringatan bagi manusia, agar selalu ingat kepada yang di atas,” lagi-lagi pria tadi mengingatkan.
Masjid ajaib tidak hanya Masjid Rahmatullah. Beberapa masjid di Aceh seperti Masjid Raya Teuku Cik Maharaja Ghurah di Peukan Bada, masjid al-Maghfiroh di Kampung Kahju-Krueng Raya, sebuah masjid di Ulee-Lheue, masjid dekat makam Syah Kuala, masjid di Ujung Karang, Meulaboh, dan beberapa masjid lain di sejumlah tempat, masih tampak berdiri. Padahal bangunan-bangunan lain di sisi kiri-kanannya ambruk berkeping-keping dan berserakan di tanah.
“Lihatlah masjid ini,” kata pria yang mengaku penduduk Lampuuk itu. “Siapakah yang bisa menduga jika ia mampu bertahan menghadapi dahsyatnya terjangan gelombang seperti itu? Ini hanyalah sebuah pesan kecil, tak ada tempat bagi kesombongan di dunia ini. Kita harus ingat kepada yang Kuasa, di atas sana.” (Bersambung/Rizki Ridyasmara)