Saat itu si adek (M. Imad Farahat) masih berada di lorong lima (rumah orang tua saya). Tak lama kemudian isteri saya, Diana Roswita, menggendong si abang, dengan dibonceng Dian Fajrina (adik ipar). Mereka menuju lorong lima sambil jalan-jalan melihat kondisi Perumnas.
Sementara saya mulai masuk kedalam kamar mengenakan celana panjang, lalu mengambil dompet dan HP saya. Saat itu saya hanya berpikir untuk berjaga-jaga, dengan memakai celana panjang saya lebih mudah berlari bila terjadi gempa. Tak lupa saya kenakan kembali kaus kaki, jaket sebagai baju penghangat, dan kain sarung saya lilitkan di leher untuk mengurangi rasa kedinginan karena malaria yang saya derita.
Jam 9.15 terjadi hiruk pikuk. Beberapa mahasiswa yang kost di lorong dua berlarian dari arah jembatan Krueng Co. Mereka memasuki jalanan lorong dua sambil berteriak-teriak, “Air laut meluap…air laut meluap!!”’.
Saat itu banyak di antara warga yang belum mengerti apa yang akan terjadi. Sementara para anak kost berlarian dengan motor mereka. Banyak warga yang masih bertanya-tanya. Saya mengajak bapak dan mamak mertua saya untuk naik ke mobil. Saat itu di rumah mertua saya ada sekitar 13 orang yang tinggal.
Ke 13 orang itu adalah bapak, mamak, saya, abang ipar saya, Denni Ridwan saudara dari kampung Dik Erni dengan mamak dan adik bungsunya Rizki, dan Fitri, masih berada di rumah. Istri dan kedua anak saya berada di lorong lima. Sementara Dian Fajrina, Dini Haniefa (adik ipar), keluar dari kawasan perumnas melihat-lihat kondisi kota Banda Aceh.
Saat itu saya mendengar gemuruh air dari arah rawa sakti timur. Dari ujung lorong terlihat kontainer sampah yang terbuat dari baja sudah terangkat seperti perahu. Kepanikan pun terjadi. Air di selokan naik meluap ke jalan. Orang-orang berlarian menjauhi arah air dari timur menuju barat.
Bapak terlihat mencoba mengeluarkan mobil kijang merah dari dalam gudang, sementara waktu semakin sempit, air mulai memasuki lorong dua bagian tengah tempat kami tinggal, saat itu baru setinggi mata kaki.