Pada pukul 14:00 setelah menyelesaikan aktiitas di Rumah Sakit Lapangan (RSL) Salma, Dr Romi mengajak kami berkunjung ke desa Saturiyyah, sebuah desa didataran tinggi yang secara geografis adalah bagian dari Latakia namun secara administratif tercatat sebagai bagian dari kota Idlib.
Ketika sampai di Saturiyyah kami disambut oleh keluarga Abul Barra’ satuan keluarga besar terdiri dari orang tua dan anak-anak yang sudah berkeluarga namun masih tetap bersatu padu dan berkumpul dalam satu rumah besar, sambutan hangat mereka berikan bagaikan seorang anak yang baru bertemu orang tuanya setelah sekian lama terpisah, memang kami Tim Hilal Ahmar Society (HASI) dan Syam Organizer baru pertama kali bertatap muka namun terpancar raut wajah bahagia dan senang seakan kami memberikan harapan bagi mereka.
Setelah kami disuguhi dengan hidangan teh hangat kami diajak menuju Dak rumah untuk menengok alam sekitar, dari atas kami melihat perkampungan Ghassaniyah, sebuah perkampungan dari arah kiblat terletak di sisi kiri Saturiyyah, dahulu Ghassaniyah adalah pusat pemukiman nasrani yang secara diam-diam berkomplot dengan rezim Nushairiyah untuk membantai mayoritas muslimin di Suriyah, setelah meletus revolusi kota ini kemudian dikuasai kaum muslimin dan menjadi markaz besar para pejuang Islam di kota Latakia dan sekitar.
Abul Barra’ bercerita bahwa enam hari sebelum kami berkunjung ke Saturiyyah pemukiman Ghassaniyah ini diserang oleh rudal mig tiga kali hingga gugur di dalamnya enam pejuang Islam, namun setelah itu kondisi kembali aman dan stabil sampai kami datang.
Saturiyyah merupakan tempat yang aman karena terletak di antara lembah dan dekat dengan perbatasan Turki, oleh karena itu desa ini digunakan sebagai tempat penampungan para pengungsi, bahkan rumah Abul Barra’ sendiri dijadikan sebagai tempat serba guna untuk pendidikan anak-anak pengungsi secara terbatas.
Ketika kami menanyakan tentang berapa jumlah pengungsi di Saturiyyah, Abu Ahmad seorang yang juga dituakan di keluarga Abul Barra’ mengatakan “Kami tidak tahu secara persis berapa jumlahnya, karena kami tidak punya sensus data mereka, tetapi menurut hitungan saya mereka berjumlah sekitar 1500 atau lebih.”
Setelah itu kami diajak menyantap hidangan makan siang dengan menu yang serba beda dengan khas nusantara, Kebbah (bentuknya seperti combro berisi potongan daging sapi dan bawang bombay dan buah delima (rumman)), waraq Duwaly (lontong nasi yang dibungkus dengan daun anggur seukuran gelintran rokok), Laban (yogurt yang rasanya sangat asam sekali), minyak zaitun dan acar timun, tomat dan delima.
Selesai makan siang dan berdialog cukup lama kami berpamitan pulang dan bertukar salam serta doa. (AY/HASI Suriah)