Krisis Timur Tengah, Masihkah Mengharapkan PBB

Berbagai laporan kredibel tentang situasi hak asasi manusia di wilayah tersebut tak menyurutkan nyali negara tersebut untuk terus bertindak atas nama kepentingan nasional. (Carlsnaes, Risse, dan Simmons, 2002).

Kerja keras masyarakat global untuk mengakhiri kekerasan di bebagai wilayah selalu terhenti ketika dihadapkan pada forum DK PBB. Beberapa negara anggota tetap DK PBB hampir selalu memveto tiap keputusan yang dinilai merugikan koalisi mereka.

Padahal, kita bisa melihat terang benderang bahwa mereka layak disebut sebagai pelaku kejahatan paling serius. Akibatnya, PBB tak bisa melakukan aksi intervensi kemanusiaan dan/atau penindakan secara hukum terhadap pihak yang dinilai paling bertangggung jawab.

Andaikan muncul resolusi tanpa veto, keputusan DK PBB seringkali terlambat akibat lamanya negosiasi yang dilakukan. Dalam tataran internasional, mekanisme di PBB bukanlah satu-satunya instrumen untuk menuntaskan dugaan kejahatan paling serius.

International Criminal Court (ICC) juga bisa menjadi solusi untuk penyelesaian kejahatan paling serius. Namun, ICC dalam hal ini mempunyai yurisdiksi terbatas, yakni hanya bisa mengambil tindakan atau menerima aduan di negara peratifikasi Statuta Roma.

Inilah masalah besar yang harus dihadapi masyarakat dunia ketika kekerasan masif, terpola, dan sistematis terjadi di suatu negara. Dalam hal ini, PBB tak bisa berbuat banyak terhadap sistem internasional.

Mendiskusikan sepak terjang organisasi regional kontemporer, berbagai literatur cenderung memusatkan pada kerja sama pada aspek ekonomi. Membentuk pasar bersama atau melakukan liberalisasi perdagangan dalam kerangka organisasi kawasan.

Terlepas, apakah salah satu atau lebih anggotanya melakukan aksi brutal terhadap warganya sendiri atau negara lain. Mereka belum sampai tingkatan akan mengambil aksi kolektif terhadap suatu peristiwa yang membahayakan keselamatan manusia.