Komunitas itu menegaskan dukungan kepada rakyat Palestina haruslah melalui pintu gerbang kepemimpinan Palestina di Ramallah, bukan lewat Israel.
“Kami melihat waktu kunjungan ini dan di tempatnya (Yerusalem) merupakan dukungan kepada posisi Israel dan AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel,” demikian poin ketiga dalam pernyataan tersebut.
Mereka pun menyebut langkah Yahya sebagai bentuk kelalaian sang tokoh atas hak rakyat Palestina.
Selain itu, kunjungan Yahya ke Israel dan pertemuannya dengan Wakil Duta Besar AS untuk Israel, David Friedman, juga dinilai bagian dari dukungan terhadap kebijakan Israel yang disebut sebagai penjajah.
“Langkah ini bertentangan dengan resolusi Majelis Umum PBB pada 21 Desember 2017, yang menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel dengan mayoritas 128 negara termasuk Indonesia,” demikian lanjutan poin ketiga.
Komunitas itu pun mementahkan pernyataan yang menyebut apa yang dilakukan Yahya itu merupakan warisan dari visi Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Komunitas itu menegaskan tindakan Yahya tak bisa disamakan dengan yang dilakukan mendiang Gus Dur.
“Presiden Wahid mencoba untuk memainkan peran dalam proses perdamaian selama masanya 1999-2001 atas persetujuan kepemimpinan Palestina pada waktu itu di mana masih ada payung internasional untuk proses perdamaian, sedangkan situasi saat ini berbeda di mana AS berpihak dengan Israel, dan Israel masih melanjutkan kebijakan pendudukan yang menargetkan tempat-tempat suci dan kepemimpinan dan bangsa Palestina,” demikian bunyi poin kelima.