Pada tahun 1920, Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk belajar. Ia meninggalkan kampungnya demi belajar. Ia juga harus rela tidak bertemu dengan gadis yang dicintainya demi menuntut ilmu.
“Tiba di Kairo,” tulis Dr Shalah Al Khalidy dalam Sayyid Qutb minal Milad ilal Isytihad, “hal pertama yang dilakukannya adalah menanyakan kabar gadis yang pertama singgah di hatinya itu.”
Namun, beberapa waktu kemudian Sayyid Qutb mendapatkan kabar yang mengiris hati. Gadis yang dicintainya itu menikah dan tinggal di pelosok kampung. Sayyid Qutb sempat menangis, namun sebuah takdir baru saja menjemputnya. Takdir unik yang kelak membuat namanya melegenda.
Sayyid Qutb tak lagi disibukkan dengan cinta hingga beberapa tahun kemudian. Itu pun berakhir dengan hal yang sama; patah hati. Lalu ia terus hidup sendiri hingga bersentuhan dengan dunia pemikiran Islam, lalu menjadi bagian dari pergerakan Islam bahkan menjadi ideolognya. Dalam kesendirian pula ia melahirkan puluhan karya dengan Fi Zhilalil Quransebagai masterpiece-nya. Dalam kesendirian pula ia menemui Tuhannya. Syahid –insya Allah- dengan tersenyum di tiang gantungan. (kl/kh)