Ia pun mulai mengenakan pakaian yang lebih sopan dan secara perlahan merasa mampu menjalaninya.
Meski begitu, keraguan masih melanda karena merasa ini akan jadi komitmen seumur hidup pada Allah sehingga butuh waktu lama untuk memiliki keberanian menjadi mualaf.
Hal itu khususnya keberanian untuk memberi tahu keluarga tercinta.
“Dan Allah berada di tempat di sisiku, juga ketakutanku hilang. Ketakutanku adalah memberitahu keluargaku. Selama beberapa pekan aku tak bisa memberitahu ibuku. Kemudian jelang Ramadhan, aku ingin masuk Islam, aku ingin puasa di bulan itu serta ingin merasakan nuansa Ramadhan. Jadi beberapa pekan sebelum Ramadhan, aku mengumpulkan nyawa untuk memberi tahu beliau,” tuturnya.
“Alhamdulillah beliau menerima, beliau hanya bertanya mengapa. Kami tidak diskusi panjang karena kami bukan keluarga yang membicarakan hal-hal secara mendalam. Namun aku merasakan kelegaan,” imbuhnya.
Secara perlahan pula, keinginan berhijab terlintas di benaknya dan mulai mempelajari soal itu. Pada awalnya, Maya belum memahami konsep Islam dan apa keperluan hijab bagi muslimah.
Seorang teman menjawab konsep hijab dengan analogi permen yang dibungkus dan tidak dibungkus. Perlahan tapi pasti, Maya memahami konsep hijab.
“Ini bukanlah sesuatu yang diajarkan padaku selama ini bahwa ini yang apa diinginkam kaum laki-laki, namun ini adalah apa yang Allah inginkan. Ini merupakan perlindungan dan pengaman kami. Aku tak mau pergi keluar rumah tanpa hijab. Menurutku, aku mulai mencintai hijab,” bebernya.