“Saya hanya mau tanya, apakah pemerintah berhak mengeksekusi?” kata Gayus.
“Atas nama undang-undang,” jawab Ngabalin.
“Oh tidak bisa, pengadilan. Enak aja,” sergah Gayus.
“Ini negara hukum bung, mana bisa,” lanjut Gayus.
Ngabalin mengatakan UU Kewarganegaraan adalah lex spesialis menjelaskan status dan kedudukan.
“Anda kurang jelas lex spesialis,” Gayus kembali menanggapi.
“Mereka punya hak komplain, ke pengadilan,” lanjut Gayus lagi.
“Gimana mereka mau komplain, sementara mereka membakar paspornya, dan menyebutkan negara ini adalah negara thagut,” kata Ngabalin.
“Jangankan paspor, bakar rumah saja diadili,” balas Gayus.
“Dan kita tahu, seluruh harta kekayaannya di negeri ini telah dijual untuk kepentingannya dalam perjalanannya,” Ngabalin melanjutkan pembicaraannya.
Gayus kemudian menegaskan apapun pelanggaran para WNI eks ISIS itu, muaranya adalah di pengadilan untuk memberi keadilan. Ukurannya apa, tegasnya, di situ ada.
“Bukan pemerintah,” tegas Gayus.
Gayus mengatakan pemerintah tidak boleh menafsirkan undang-undang tanpa proses pengadilan. Perdebatan pun terjadi lagi.
“Di mana posisinya tidak boleh?” tanya Ngabalin.
“Tidak bolehnya kalau dilaksanakan sendiri. Kalau pemerintah sudah mencabut undang-undang dan menggunakan undang-undang dengan kekuasaannya, itu sudah melanggar….”
Saat Gayus menjelaskan argumentasinya itu, Ngabalin meresponnya dengan tertawa.
“Kok tertawa, nggak perlu ketawa. Itu anda ketawanya bodoh. Ini saya kasih tahu anda. Sekarang anda bilang undang-undang lex spesialis, semua juga lex spesialis, narkotika juga lex spesialis,” kata Gayus ke Ngabalin.
Gayus menambahkan pemerintah tidak salah dengan rapat terbatasnya. Tapi, prosedur untuk menetapkan secara pasti mengenai status kewarganegaraan itu adalah wilayah pengadilan.(*glr)