Kisah Sufi: Engkau Kaya Tapi Miskin

Mendengar itu, si saudagar langsung naik pitam. “Bagaimana kau ini! Enak saja kau menyebutku seorang pengemis,” katanya dengan mata melotot. Maka, sang sufi kemudian menjawab dengan nada tenang, “Aku adalah orang kaya karena aku sangat puas dengan apa yang diberikan Tuhan kepadaku. Sementara, kau adalah pengemis karena selalu merasa tidak puas dan selalu meminta lebih dari Tuhanmu.”

Secara lahiriah, saudagar itu kaya dengan limpahan harta, tapi secara batiniyah ia adalah miskin karena merasa kurang dengan harta yang dimilikinya, bahkan merasa haus dan tamak akan harta yang belum diraihkan lagi. Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup yang ada di dalam hati.” (HR al-Bukhari no 6.446 dan Muslim no 1.051).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam penjelasannya terhadap hadis ini, “Alhasil, orang yang disifati dengan ‘ghina an-nafs’ (kekayaan jiwa) adalah orang yang qana’ah terhadap apa yang Allah SWT berikan kepadanya. Dia tidak tamak untuk menum puk-num puk harta tanpa ada ke bu tuhan. Tidak pula dia memin ta-minta kepada manusia dengan mendesak. Dia merasa ridha dengan apa yang diberikan Allah SWT kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup.”

Alangkah bahagia kehidupan orang yang hati, jiwa, dan pikirannya selalu merasa kaya. Mensyukuri nikmat yang ada tanpa terus mengangankan segala yang dipunyai orang. Harta sekadarnya apalagi berlebih selalu digunakan untuk memacu amal baik dan ibadah. Batinnya tenang karena tidak diperbudak dunia, tetapi justru merajai dunia. Rasulullah memuji pribadi demikian. “Sungguh berbahagia orang yang masuk agama Islam dan diberi rezeki cukup, serta dikaruniai Allah sifat qana’ah atas segala yang diberikan kepadanya.” (HR Muslim). Wallahu’alam. (rol)