Eramuslim – Presiden Recep Tayyip Erdogan semakin mengukuhkan cengkramannya sebagai pemimpin di Turki setelah memenangkan pemilihan umum akhir pekan kemarin.
Erdogan dan koalisi Aliansi Rakyat berhasil memperolah 53 persen suara, mengalahkan enam pesaingnya dalam pemilu.
Kemenangan ini memungkinkan Erdogan, yang telah lebih dari 15 tahun berkuasa, untuk memperpanjang masa jabatannya hingga 2028 mendatang.
Selain itu, masa jabatan diperoleh berikut kewenangan baru yang dicanangkan lewat perubahan konstitusi 2017 lalu. Didukung referendum, reformasi disahkan parlemen sekitar April 2017.
Periode pemerintahan baru diperlukan sebagai persyaratan implementasi perubahan tersebut. Karena alasan itulah Erdogan memutuskan menggelar pemilu sela.
Di bawah aturan baru ini kewenangan parlemen berkurang, sementara peran perdana menteri dihapuskan. Dengan begitu, Erdogan bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan pemimpin partai berkuasa dalam waktu bersamaan.
Selain itu, undang-undang baru juga memberikan keleluasaan bagi Erdogan untuk mengeluarkan dekrit. Dia juga diberi kewenangan menunjuk sendiri menteri kabinetnya dan sebagian besar anggota badan peradilan tertinggi negara tanpa konfirmasi parlemen.
Konstitusi baru juga memberi keleluasaan Erdogan untuk mengusulkan sendiri anggaran negara serta mengontrol aktivitas militer maupun polisi.
Sejak pertama diusulkan awal 2017 lalu, perubahan konstitusi ini telah menimbulkan gejolak dalam politik Turki.
Sejumlah kelompok oposisi menilai langkah ini menjadikan presiden berkuasa penuh tanpa ada mekanisme pengecekan yang bisa menjamin pemerintah tetap transparan dan akuntabel. Sebagian pihak menganggap reformasi konstitusi memperbesar celah rezim otoriter berkembang dalam pemerintahan.