Tokyo, 7 Maret 2011
“Masalah ketahanan pangan bukan hanya menjadi monopoli Indonesia, melainkan juga menjadi masalah besar di seluruh dunia. Implementasi Food Estate berbasis petani bisa menjadi solusi untuk membangun ketahanan pangan nasional”, demikian diuangkapkan oleh Arman Wijonarko dalam acara Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) 2011, di Tokyo (06/3/2011).
Arman, yang juga Atase Pertanian KBRI Tokyo ini menilai bahwa persoalan lahan menjadi persoalan utama ketika ingin membangun Food Estate. “Sebenarnya petani Indonesia sudah cukup professional, namun kepemilikan lahan yang minim membuat mereka tidak mampu berproduksi secara menguntungkan. Pada akhirnya banyak diantara mereka yang memilih menjual lahannya dan beralih profesi menjadi tukang ojek”, demikian tambah Arman.
Arman Wijonarko tengah menyampaikan konsep Food Estate berbasis petani
Saat ini menurut Arman Universitas Gadjah Mada sedang mengembangkan konsep model investasi dan pengelolaan lahan bersama petani dalam memperkuat ketahanan pangan. Dalam model ini peran pemerintah dan pemilik modal swasta sangat diperlukan, namun peran mereka tidak akan memarjinalkan petani, justru sebaliknya, petani menjadi subjek atau pelaku utama. “dengan kemitraan antara pemerintah, pemilik modal dan petani maka pembangunan pertanian bisa dilakukan secara lebih optimal.
Dengan kepemilikan modal yang kuat, pengusaha bisa menyiapkan lahan yang profitable bagi petani, selain itu profesionalitas dari sisi manajerial juga bisa ditularkan kepada petani”, kata Arman.
Namun begitu persoalan membangun Food Estate bukan hal yang mudah. Dengan lahan pertanian yang semakin terbatas di tanah Jawa hal itu sulit untuk dibangun di Jawa, oleh karena alternative yang layak adalah di luar pulau Jawa, seperti di Papua. Masalah yang muncul berikutnya adalah ketika kita ingin membangun Food Estate di Papua apakah tersedia cukup petani professional di Papua. Jika tidak maka perlu didatangkan petani dari Jawa dan ini berpotensi memunculkan masalah social dan budaya seperti pada era gencarnya transmigasi di jaman Suharto.
Presiden IASA, Mukhamad Najib memberikan kata sambutan
Sementara itu menurut visiting professor dari Kyoto University, Dias Pradadimara, masalah ketahanan pangan tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada petani sebagai penanggung jawab tunggal. Banyak faktor yang berada diluar kontrol petani, seperti bibit, pupuk, system tata niaga, dan lain-lain yang seringkali mempengaruhi motivasi petani untuk bertani.
Dias mencontohkan petani kopi Indonesia mampu menjadi supplier kopi terbesar ketiga di dunia pada tahun 2000-2007, namun pada tahun 2008 posisi ketiga tersebut dilampau oleh Vietnam. “kebijakan pemerintah serta keberpihakan pemerintah terhadap petani juga sangat berpengaruh pada motivasi dan produktivitas petani. Oleh karena itu, kebijakan yang pro petani hendaknya bukan hanya sekedar retorika jika kita ingin memajukan dunia pertanian”, urai Dias yang juga Dosen pada Universitas Hasanudin ini.
Mukhamad Najib menyerahkan penghargaan pada para pembicara
Acara SAST 2011 yang diselenggarakan oleh Indonesian Agriculture Sciences Association (IASA) di The University of Tokyo ini merupakan ajang bagi mahasiswa Indonesia di Jepang untuk bertukar informasi dan pengetahuan mengenai hasil-hasil penelitian yang selama ini dilakukan masing-masing di Jepang. Acara ini juga dimaksudkan untuk merumuskan gagasan yang dapat dikontribusikan untuk dunia pertanian Indonesia.
Peserta symposium berfoto bersama
Menurut Presiden IASA, Mukhamad Najib, SAST merupakan acara tahunan yang diselenggarakan IASA dengan maksud untuk saling bertukar informasi, pengetahuan dan gagasan mengenai dunia pertanian. Dengan demikian diharapkan muncul ide-ide brilian yang dapat dikontribusikan bagi kemajuan dunia pertanian di Indonesia (FF).
Tokyo, 17 Maret 2011
Divisi Humas IASA
Farah Fahma