Tanggal 9 Desember 2008, tepat 5 tahun Hari Anti Korupsi diperingati dunia. Bersamaan dengan itu, kita menyaksikan iklan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan partainya ramai menghiasi media massa. Diantara pesan yang disampaikan adalah: “Korupsi menghancurkan supremasi hukum, melemahkan tatanan pemerintahan, menggerogoti sendi-sendi demokrasi, dan merusak moral bangsa. Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu! Katakan tidak pada korupsi!”.
Perlu kita akui, pemerintah pada masa SBY memang memiliki beberapa catatan prestasi dalam bidang pemberantasan korupsi. Sejumlah pejabat di level pusat maupun daerah telah berhasil diperiksa dan menjalani proses hukum atas dugaan berbagai kasus korupsi. Termasuk pula, penetapan besan SBY sendiri, yaitu Aulia Pohan, sebagai tersangka dalam kasus aliran dana BI. Langkah-langkah ini cukup menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah memang tengah giat memberantas korupsi. Tidak campur tangannya SBY dalam penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka, juga turut memberi pesan positif tentang keseriusan langkah tersebut.
Meski demikian, kita tetap ragu dan mempertanyakan keberanian dan kesungguhan pemerintahan SBY dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar, khususnya terkait BLBI. Nyatanya, pemerintah selama ini tidak menunjukkan sikap tegas atas kasus BLBI sehingga masa depan penyelesaian kasus-kasus ini sangat kabur dan tidak jelas. Padahal, kasus-kasus itu telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Dalam jawaban interpelasi atas kasus BLBI beberapa waktu lalu misalnya, Presiden justru menyatakan akan melanjutkan kebijakan pemerintahan terdahulu terkait penyelesaian kasus BLBI. Hal ini termasuk mempertahankan kebijakan Inpres release and discharge yang selama ini menjadi penghambat dilakukannya proses hukum terhadap obligor-obligor BLBI.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Inpres ini, obligor BLBI penerima SKL dikesampingkan aspek pidananya asalkan mereka melunasi kewajiban-kewajiban mereka. Padahal, sejumlah obligor penerima SKL, seperti Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim, ternyata juga tidak melunasi seluruh kewajiban mereka. Karena itulah, pemerintah sudah seharusnya mencabut dan merevisi Inpres yang sangat tidak adil ini. Sikap pemerintah SBY yang justru bersikeras mempertahankan kebijakan ini, dengan demikian, adalah sangat aneh dan bertentangan dengan slogan yang digembar-gemborkan untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Dalam menindak obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya pun, pemerintah SBY tak menunjukkan ketegasan dan kesungguhannya. Berbagai akomodasi diberikan, dari mulai pengunduran jadwal pembayaran hingga reformulasi jumlah kewajiban yang harus dibayarkan. Pemerintah bahkan sempat memberikan sambutan karpet merah bagi sejumlah obligor BLBI.
Untuk kasus Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim, pemerintah juga menunjukkan ”ketidakberdayaannya”.
Meskipun indikasi tindak pidana telah demikian nyata dilakukan obligor-obligor tersebut, termasuk menyerahkan aset-aset fiktif (undervalued) sebagai pelunasan kewajiban mereka, langkah tegas tak juga diambil Presiden bahkan juga tidak banyak bertindak saat oknum aparat penegak hukum dari institusi yang dibawahinya, Kejaksaan Agung, terlibat dugaan suap menyuap dengan Artalyta Suryani dalam rangka melindungi kepentingan obligor BLBI Sjamsul Nursalim.
Padahal, salah seorang ”jaksa terbaik” mereka, yaitu Urip Tri Gunawan, telah terbukti bersalah dan menerima vonis penjara. Kasus ini juga menyeret nama sejumlah pejabat Kejagung lainnya, sehingga menegaskan kentalnya indikasi KKN dalam penyelesaian kasus BLBI oleh Kejagung
Jika Presiden SBY benar-benar berkomitmen memberantas korupsi, tentunya hal itu harus dilakukan dengan membersihkan Kejagung sebagai instansi penegak hukum, yang juga merupakan kunci dari upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah. Atas hal ini, patut dicatat, bahwa Kejagung justru menyatakan banding atas putusan PN Jaksel yang membatalkan SP3 Sjamsul Nursalim. Jaksa Agung Hendarman Supandji juga bahkan berani menyimpulkan Jaksa Urip bertindak sendirian dalam kasus suap Artalyta. Hal-hal ini jelas membuat Kejagung sangat tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan kasus BLBI secara objektif dan berkeadilan.
Atas hal-hal di atas, maka KPK-N dengan ini menuntut pemerintah dan Presiden SBY untuk benar-benar membuktikan janji dan klaim yang dibuatnya untuk terus berjuang melawan korupsi tanpa pandang bulu. Kami tegaskan, hal itu hanya dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Menuntaskan kasus BLBI melalui proses hukum yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan publik;
- Melakukan pembenahan menyeluruh terhadap institusi Kejagung sebagai ujung tombak pemerintah dalam proses penegakan hukum;
- Mencabut Inpres No.8/2002 tentang R & D;
- Menciptakan berbagai terobosan untuk mempercepat penyelesaian kasus BLBI;
- Menyeret segera pelaku-pelaku korupsi BLBI ke pengadilan;
- Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat yang terlibat dalam skandal BLBI;
- Menyita aset dan kekayaan obligor yang hingga kini tidak menyelesaikan kewajibannya;
- Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang negara yang telah terkucurkan pada skandal BLBI;
- Menuntut pertanggungjawaban IMF atas kesalahan resep ekonomi yang diberikan serta tekanan dan manipulasi yang dilakukan terhadap pemerintah Indonesia.
Dalam kesempatan ini, kami juga hendak mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertindak konsisten dan progresif dalam menyelidiki kasus-kasus BLBI. Kita tidak menghendaki KPK mengidap penyakit yang sama dengan para pendahulunya, yaitu hanya garang di awal proses namun ”melempem” dalam penyelesaiannya.
Kita juga mengingatkan KPK untuk berkomitmen mengusut tuntas semua tindak korupsi yang dilakukan obligor BLBI, khususnya yang telah sangat merugikan negara, dengan tegas dan tidak pandang bulu. Kita tidak ingin KPK mencari-cari celah untuk mengalihkan kasus ini, seperti dengan mengalihkan penyelidikan kasus BLBI hanya ke bank-bank pemerintah dan tidak ke bank-bank swasta. Padahal, obligor-obligor bank swasta seperti Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim telah nyata-nyata mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara!
Jakarta, 9 Desember 2008
Komite Penyelamat Kekayaan Negara
Marwan Batubara (Koordinator)
Adhie Massardi, Tjandra Widjaja Dll