Jogjakarta, 2 Maret 2009. Bagi lembaga zakat maupun yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, bermitra dengan donatur besar merupakan dambaan. Namun, dalam mengajukan kemitraan, ada ajuan program dengan proposal yang lengkap dan rinci namun tidak ditanggapi, sebaliknya ada program yang tampak biasa saja namun selalu berhasil bermitra dengan donatur besar. Apa sebabnya?
“Kuncinya ada di lobi dan silaturrahim,” tegas Untung Suropati (51), pegiat LSM dan lembaga zakat yang sudah berkecimpung di dunia pemberdayaan sejak belasan tahun lalu di acara Pelatihan Baitul Maal Desa yang diadakan BAZNAS pada 26-28 Februari 2009, di LP4TK Matematika, Jogjakarta. Menurut Untung, kunci utama sebuah kemitraan adalah kesamaan ide antara sebuah lembaga zakat atau LSM dengan donatur. “Hal itu harus dibangun dari awal, berangkat dari diskusi bersama. Jika visi sudah selaras, baru ajukan proposal yang lengkap dan rinci, namun jangan coba-coba pada tahap awal sudah ajukan proposal, saya yakin itu bakal ditolak,” jelas salah satu penggagas konsep Baitul Maal Desa ini. Menurutnya, para pengaju proposal harus memahami bahwa di meja para donatur juga sudah banyak proposal bagus yang bertumpuk yang juga menunggu kucuran dana segar para donatur. “Jadi, tanpa silaturrahmi terlebih dahulu, jangan harap para donatur akan memberikan dana mereka kepada kita,” papar suami dari Siti Muslikhah ini.
Untung juga memberikan tips lain agar proposal yang diajukan dapat diterima. ”Sesuaikan anggaran kita dengan anggaran donatur karena jika anggaran yang kita ajukan berlebih, maka peluang untuk ditolak akan lebih besar,” urainya. Menurutnya, kesesuaian proposal dengan anggaran yang ada akan mempermudah pihak donatur untuk menerima proposal yang masuk.
Pelatihan yang diikuti oleh lembaga-lembaga mitra salur zakat BAZNAS dan beberapa BAZDA selama tiga hari ini, ditanggapi antusias dan kritis oleh para peserta. Ilham (36), dari Unit Salur Zakat Lombok, misalnya, menanyakan tentang bagaimana menciptakan kesesuain antara kebutuhan masyarakat dan donasi yang akan diberikan,” jelasnya. “Terkadang banyak donatur yang lebih suka memberikan bantuan fisik seperti pembangunan masjid, padahal yang dibutuhkan masyarakat adalan pelatihan keterampilan,” jelasnya. Sebaliknya, Isnaini (42), dari USZ Bogor mengeluhkan sulitnya mengetahui tema pemberdayaan apa yang diminati oleh lembaga donatur. “Terkadang kita ajukan tema membangun masjid, ternyata lembaga itu lebih suka tema pemberdayaan perempuan,” kelunhnya.
Menanggapi pertanyaan itu, Untung menekankan pentingnya penggalian informasi sebelum mengajukan proposal, baik informasi dari masyarakat maupun dari lembaga donor sendiri. “Yang utama, adalah lembaga zakat atau pemberdayaan harus berpihak pada kebutuhan masyarakat, baru kemudian mencari informasi dari berbagai sumber termasuk internet tentang donatur yang bersedia mengucurkan dana untuk tema tersebut.” Ia mencontohkan, untuk proposal yang diajukan ke negara Paman Sam, mungkin tema HAM akan cocok, namun untuk pembangunan masjid, bisa lebih cocok ke negara Timur Tengah. “Jangan sampai kita salah sasaran, karena itu akan sia-sia,” tegas Untung.
Budi Setiawan, koordinator program pelatihan Baitul Maal Desa BAZNAS bersyukur bahwa acara berlangsung lancar dan sukses. ”Alhamdulillah, acara berjalan lancar dan mendapat apresisasi positif dari para peserta. Perbaikan akan terus kita sama-sama lakukan agar program-program serupa dapat terus dilakukan dan memberikan kontribusi nyata bagi umat,” tekadnya. (ful)