Kampung Pondokmiri, khususnya RT 02 dan 03 RW 05, sama nasibnya dengan daerah perbatasan lain di Indonesia. Kampung yang terletak di Desa Rawakalong, Kecamatan Gunungsindur, ini terjepit persis di tapal batas Kabupaten Bogor (Jawa Barat) dan Kota Tangerang Selatan (Banten). Meski dikelilingi sejumlah perumahan (Permata Pamulang, Bukit Dago, Griya Erina, Puri Permata), namun infrastruktur jalan utama Pondokmiri masih hancur seperti sejak 15 tahun lalu. Angka kemiskinan pun tetap cukup tinggi. Indikatornya antara lain jumlah pembeli raskin (beras miskin) dan penerima zakat fitrah, yang dari tahun ke tahun cenderung naik.
Gambaran itulah yang disampaikan Sunaryo Adhiatmoko, seorang pegiat kemanusiaan setempat, saat menerima kunjungan belasan aktivis dan mantan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) di rumahnya di Pondokmiri, Ahad malam 21 Agustus lalu.
Bersama istrinya, Ernita Susanti, Sunaryo sejak 2002 merintis pengembangan masyarakat (community development) Kampung Pondokmiri. Dari 5 anak yang diajari ngaji di teras rumah kontrakan mereka, kini telah berdiri lembaga pendidikan Balistung (baca-tulis-hitung) ‘’Bocah Taqwa’’ dan TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) ‘’Al Azmy’’ dengan 150-an santri peserta didik.
Untuk meneruskan pembinaan santri, sejak 2 tahun terakhir pasangan suami-istri itu bersama sejumlah tokoh setempat juga menyelenggarakan pendidikan tingkat Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Dasar). Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) As Syafiiyah 10, namanya, menginduk pada Yayasan Perguruan Islam As Syafiiyah pimpinan KH Abdul Rasyid As Syafiiyah, putra Kyai Syafii ‘’Macan Betawi’’. Muridnya, kelas 1 dan 2, kini berjumlah 52 anak yang nyaris semuanya dari keluarga dhuafa setempat.
Bersamaan dengan itu, kaum ibu wali santri juga dibina melalui wadah Majelis Taklim Al Azmy. Setiap Ahad siang, majelis ini menyelenggarakan pengajian. Di luar itu, sebagian dari anggotanya mengikuti kursus privat baca Qur’an yang diasuh Ustadzah Nurbaiti Rohmah.
Sejak Ramadhan (Agustus) tahun lalu, Sunaryo dan rekan-rekannya juga membentuk wadah pembinaan para penarik ojek Pondokmiri. Namanya Forjeki, kependekan dari Forum Ojeker Beriman. Kegiatan rutinnya adalah pengajian ahad pagi, pelatihan ketrampilan, kerja bakti, dan gotong royong sosial.
Ramadhan tahun ini, tepatnya pada 20 Agustus lalu, terbentuk pula wadah pembinaan para wanita yang berprofesi sebagai pembantu rumahtangga. Namanya Forum Pembantu Salihah (Fortusa).
Semua itu, diakui Sunaryo, tak lepas dari dukungan kawan-kawan aktivisnya di LAZ (Lembaga Amil Zakat). ‘’Comdev (community development) Pondokmiri ini adalah laboratorium sosial lintas-LAZ,’’ tandas lelaki asal Trenggalek, Jawa Timur, yang mengaku ‘’kenyang’’ menikmati kemiskinan. Pembangunan saung pertama Balistung Bocah Taqwa pada 2005 misalnya, berasal dari bantuan pribadi Rahmad Riyadi, waktu itu CEO Dompet Dhuafa. Sedangkan saung kedua yang dibangun lima tahun kemudian, berasal dari Badan Pembinaan Kerohanian Islam PT Telkom Jakarta Selatan melalui Al Azhar Peduli Ummat. Pada 2010, giliran Ikatan Keluarga Muslim Deutsche Bank Jakarta yang merenovasi kedua saung tersebut.
Untuk meningkatkan honor guru Balistung Bocah Taqwa dan TPQ Al Azmy, sejak dua tahun terakhir PPPA Daarul Qur’an memberikan tunjangan guru sebesar Rp 100 ribu/orang/bulan. Lembaga ini juga menyertakan Pondokmiri dalam program sosial lain seperti bingkisan untuk yatim, qurban, dan berbagi parcel nusantara.
Adapun LAZIS Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, pernah memberikan seragam untuk guru Balistung dan TPQ. Lembaga ini juga memfasilitasi sanlat (pesantren kilat) yang kemudian melahirkan Forjeki dan Fortusa.
Syiar melalui facebook juga mengundang kepedulian pihak lain. Misalnya A Fuadi ‘’Lima Menara’’, yang menyumbang pengadaan tenda untuk majelis taklim. Putri dan kawan-kawan dari Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sejak dua tahun terakhir rutin menyalurkan bantuan untuk MIS As Syafiiyah 10. Demikian juga forum aktivis dan mantan aktivis BEM UI, yang berniat menjadikan Pondokmiri sebagai salah satu daerah binaan.
Ernita Susanti, kepala sekolah MIS As Syafiiyah 10, mengaku menerima sejumlah tawaran untuk mengakses dana pendidikan masyarakat yang dikucurkan melalui birokrasi pemda. Namun, ia merasa lebih nyaman menerima bantuan dari LAZ dan donatur plat hitam lainnya. ‘’Kami ingin mendidik anak-anak dengan dana yang bersih dan tulus,’’ katanya dalam silaturahim dan pembagian parcel lebaran dari Majelis Taklim Al Hidayah Permata Pamulang untuk para guru di Pondokmiri, Rabu, 24 Agustus lalu.
Istri Sunaryo optimis, dukungan donatur non-pemerintah akan mampu mewujudkan pembangunan kelas sederhana untuk MIS As Syafiiyah 10. ‘’Saat ini kegiatan belajar-mengajar MIS As Syafiiyah 10 masih menumpang di dua lokal MTs As Syafiiyah 06. Mudah-mudahan tahun depan kami sudah punya kelas sendiri,’’ katanya. (nurbowo)