I’tikaf Manajemen Maut di Masjid Cut Mutiah, Gondangdia

Masjid Cut Mutiah adalah salah satu masjid tua di Jakarta. Menempati bangunan tua yang diatur dalam undang-undang ordonansi, masjid ini termasuk cagar budaya. Terletak di Jalan Cut Mutiah No.1, Jakarta Pusat, menjadikan Masjid Cut Mutiah strategis berada di segitiga Gambir, Gondangdia, dan Cikini. Dengan komitmen untuk melayani umat dari berbagai strata, tak heran, Masjid Cut Mutiah dipadati hingga 5000 jamaah setiap pekannya. Bahkan calon wakil presiden terpilih, Boediono, mengunjungi masjid ini hingga 6 kali.

Menurut Ketua Pelaksana Harian Masjid Cut Mutiah, H. Herry Hermawan, S.E., masjid Cut Mutiah adalah masjid yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. “Kami ingin menjadi representatif sebagai sentral kegiatan umat Islam,” jelas Herry. Beragam kegiatan dilaksanakan oleh pengurus Masjid Cut Mutiah dalam mengisi Ramadhan kali ini. Pengurus telah menyiapkan tak kurang dari 1000 paket ta’jil tiap harinya termasuk makan besar.

Rupanya, beberapa perusahaan melirik pembagian ta’jil di masjid ini sebagai ajang promosi produk. Walhasil, selain ta’jil dan makan besar, jamaah juga mendapat beragam produk sponsor, seperti kecap, kopi, dan sabun. Selain buka bersama, Masjid Cut Mutiah juga mengadakan tarawih, ceramah agama, kuliah subuh, kultum zuhur, pengelolaan zakat, pesantren Ramadhan, dan i’tikaf. Pesantren Ramadhan Cut Mutiah diperuntukkan bagi remaja di lima wilayah Jakarta, dengan target 200 orang terdiri dari pelajar SMA dan mahasiswa. Kegiatan pesantren ini merupakan wujud kerja sama Masjid Cut Mutiah dengan Hotel Sofyan yang terletak di seberang masjid. Untuk informasi lebih lengkap mengenai kegiatan Ramadhan di masjid Cut Mutiah, dapat menghubungi Sekretariat Masjid Cut Mutiah, telp. 021-31926876.

Salah satu kegiatan yang menarik di Masjid Cut Mutiah adalah i’tikaf dengan metode manajemen maut. Metode ini digagas dengan harapan peserta dapat mengantar calon mayit saat sakaratul maut. Selain dibekali dengan persiapan mengantar calon mayit, peserta juga diberikan pelatihan memandikan jenazah. “Banyak orang terbuai dengan kehidupan dunia. Berpikir, ah masih ada Ramadhan tahun depan. Ia tidak siap menghadapi kematian dan juga tidak siap jika harus mengantarkan salah seorang keluarganya atau kenalannya menghadap maut. Makanya, selain tingkat keimanan yang cukup, kami fasilitasi dengan manajemen maut ini. Kalau bukan Ramadhan tahun ini, kapan lagi?!” lanjut Herry bersemangat.

Sasaran i’tikaf manajemen maut ini adalah orang dewasa yang nantinya diharapkan dapat berkontribusi di keluarganya, dapat menularkan ilmu manajemen maut dari pelatihan tersebut. Makanya, pengurus mengakui, akan ada seleksi peserta i’tikaf. Sebagai pemanasan menjelang i’tikaf, pengurus mengadakan seminar manajemen maut plus mabit yang diakhiri dengan sahur bersama. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 4—6 September dengan investasi Rp150 ribu.

Memahami bahwa Ramadhan adalah bulan ibadah, pengurus masjid tak memberlakukan jam operasional di masjid Cut Mutiah. Pintu masjid selalu terbuka bagi masyarakat yang ingin beribadah. “Kami hanya berharap, semua orang yang datang ke masjid ini dapat meraih takwa. Tidak membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja. Makanya, kami menganggap setiap orang yang datang ke masjid ini adalah istimewa,” terang Herry.

Komitmen melayani umat tersebut rupanya diuji oleh beberapa kendala, misalnya, sanitasi. Masjid Cut Mutiah mempunyai tujuh toilet yang diserbu oleh ratusan bahkan ribuan jamaah selepas maghrib. Tuntutan kebersihan pun memecut pengurus untuk meningkatkan kinerjanya. Selain menjaga kebersihan, pengurus menyediakan sabun cair sebagai sarana penunjang kebersihan bagi jamaah. “Kami menyadari bahwa setiap orang yang datang ke sini pasti ingin shalat, untuk dapat shalat, dia harus bersuci. Oleh karena itu, saya amanahkan kepada para petugas toilet untuk memastikan kebersihan WC. Masak kita kalah sama bioskop dan hotel-hotel yang melayani tamunya dengan istimewa?! Sementara, orang yang masuk masjid ‘kan tamu Allah, kenapa nggak kita layani?!” ujar Herry.

Meski harus merogoh kocek cukup besar untuk anggaran kebersihan, pengurus masjid tak mengambil pusing. Bahkan, Herry menyarankan kepada para takmir masjid lain agar bersedia mengembalikan infaq umat dalam bentuk fasilitas tambahan, seperti sabun di toilet. “Intinya, kita kan mengejar pahala bukan bisnis pahala,” lanjut Herry.

Selain kendala kebersihan, rupanya pengurus juga kelimpungan mengatur para jamaah yang beristirahat pada siang hari bulan Ramadhan sehingga membuat ketidaknyamanan bagi jamaah lain yang ingin beribadah. Herry mengungkapkan, “Dalilnya memang ada, tidur di bulan Ramadhan adalah ibadah. Jadi, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah kami imbau lewat running text yang terdapat di dalam masjid, tapi banyak yang tak mempedulikannya.”

Terlepas dari hal itu, antusiasme masyarakat sekitar untuk berbuka di Masjid Cut Mutiah juga luar biasa. Diceritakan oleh Herry, ada sekeluarga yang tinggal di perumahan dekat masjid, datang ke masjid dengan mobil dan menyatakan keinginannya untuk berbuka di masjid dengan alasan: suasana buka bersama di masjid sangat nikmat, tak seperti di rumah.

Masjid Cut Mutiah tak bisa lepas pula dari titel masjid persinggahan. Lagi-lagi karena letaknya yang strategis membuat para musafir singgah di masjid ini, bahkan para supir pun menjadikan masjid ini sebagai tempat mangkal. Dengan ramainya aktivitas jamaah, masjid ini pun terus berbenah diri. Manajemen kantor sudah diterapkan dalam pengelolaan masjid, yaitu dengan sistem administrasi yang rapi serta penggajian karyawan. Dengan manajemen yang profesional, banyak perusahaan yang bekerja sama dengan Masjid Cut Mutiah.

Sebagai masjid persinggahan, tak berarti Masjid Cut Mutiah memberikan pelayanan yang setengah-setengah. Pelayanan masjid Cut Mutiah juga dirasakan oleh masyarakat binaan di berbagai lembaga pemasyarakatan, seperti LP Tangerang, LP Cipinang, dan LP Salemba. Pengurus masjid berharap dengan bantuan berupa kebutuhan pokok dan pembinaan ruhani, para napi dapat merasakan haknya sebagai manusia normal. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 10 tahun.

Mengelola masjid memang tak mudah, apalagi masjid di pusat keramaian Jakarta. Namun, tak ada alasan untuk tidak mengelola secara profesional hingga masjid tak lagi menjadi tempat persinggahan semata, namun dapat dirasakan manfaatnya.

(Indah)