Ini hari kedua kami di Hatay. Sebuah kota dengan panorama yang indah, dengan berbagai tujuan wisata di dalamnya. Kami sempat beristirahat semalam, ketika sore kemarin mendarat di Hatay. Meski penerbangan Istanbul-Hatay dalam hitungan jam, namun istirahat kami cukup lelap. Mungkin juga pengaruh jet-lag sejak mendarat dari Jakarta, dua hari lalu.
Siang ini jadwal kami berkeliling ke titik-titik di mana pengungsi dirawat. Yasir, seorang pemuda paruh baya dari LSM Huquq Insan Suriah yang menyambut kami kemarin, sudah berjanji pagi ini mau datang. Dan, alhamdulillah, Yasir datang tepat saat kami selesai berkemasi. Bismillah, meski 31-33 derajat Celcius, the show is begin!
Tujuan kami pertama kali, tentu saja berdasar guiding Yasir, adalah klinik-klinik rumahan yang dikelola secara mandiri oleh dokter-dokter Suriah. Namanya mandiri, klinik-klinik tersebut 100% operasionalnya hanya disokong dari LSM-LSM kesehatan. Dapat dibayangkan, berapa sih kekuatan LSM dalam menangani korban sebuah tragedy kemanusiaan yang dilakukan oleh sebuah rezim.
Di klinik tersebut kami sempat berkenalan dengan beberapa dokter asal Suriah. Selain mengamati kesederhanaan alat-alat medis yang ada di klinik swasta tersebut, kami juga berdiskusi dengan para dokter tersebut. Kebanyakan seputar second opinion penyakit yang diderita pasien. Untung sekali Abu Harits ikut dalam rombongan ini. Cara ngomong Arabnya sudah seperti orang Jakarta berbahasa Indonesia. Tanpa buffering sama sekali.
Selanjutnya kami mengunjungi sebuah rumah sakit bernama Academy Hastanesi. Sebuah bangunan lantai delapan yang didirikan di atas tanah seluas kurang lebih 3000 m persegi. “Ini rumah sakit swasta,” kata Yasir. Rumah sakit swasta adalah opsi kedua bagi pasien selain klinik darurat-yang meski dokternya Muslim namun peralatan serba terbatas. Yasir membawa kami ke sebuah kamar. Seperti rumah sakit pada umumnya, satu kamar terdiri dari dua bed.
Di kamar itulah kami berjumpa Muhammad, pemuda berusia 22 yang terkulai di salah satu bangsal. Ia berasal dari Idlib. Dalam sebuah serangan yang dilancarkan pasukan Asad, sebuah bom meledak. Ia terpental. Punggungnya membentur benda keras. Sejak itu, bagian tubuh dari pinggang ke bawah, lumpuh tak bisa digerakkan. Dokter kemudian memvonis, tulang belakang Muhammad patah.
Setelah memperkenalkan diri secukupnya, tak banyak info yang bisa saya gali darinya. Maklum, saya juga harus tahu diri, kondisi seperti itu mungkin belum merasa enak untuk diajak bicara banyak. Namun saya sempat menanyakan alasan Muhammad memilih dirawat di RS Swasta yang biayanya 3x lipat lebih mahal. “Bukankah RS Pemerintah Turki lebih murah karena disubsidi?” tanya Abu Harits dalam bahasa Arab.
Muhammad lalu tersenyum kecut. “Saya berobat mencari kesembuhan. Bukan penyiksaan atau kematian,” katanya pendek. Kemudian Yasir pun berbisik kepada Abu Harits, tentang sesuatu yang sebenarnya sudah banyak kami dengar dari media sebelumnya. “Mereka tidak mau dirawat di RS Pemerintah Turki karena dokternya Nushairiyah,” bisik Abu Harits kepada saya, menerjemahkan ucapan Yasir. “Bagi rakyat Suriah, berobat ke dokter Nushairiyah sama dengan mengantarkan nyawa. Setidaknya itu yang terjadi di Suriah,” lanjut Yasir.
Lalu, apakah di Turki juga mereka berani menjadi algojo bagi pasien rakyat Suriah yang Muslim? “Meski tidak berani sampai seperti itu, perlakuan mereka terhadap pasien mengecewakan. Alih-alih diobati, para pasien banyak yang merasa diping-pong dan ditelantarkan,” lanjut Yasir. “Yang pasti, mereka sudah trauma dengan dokter Nushairiyah,” tukasnya.
Trauma, kata terakhir Yasir itu menjadi kesimpulan mengapa mereka menghindari RS Pemerintah. Info yang kami peroleh dari Muhammad tadi semakin dikuatkan oleh dr. Ahmad Najjar, ketua sebuah LSM kesehatan yang juga turut menangai pasien pengungsi di klinik-klinik darurat. Dr. Ahmad Najjar membuka klinik darurat di sebuah apartemen di Antakya. Pasien dr. Ahmad Najjar mengungkapkan keluhan sama persis dengan Muhammad: trauma terhadap dokter Nushairiyah!
Bagaimanapun, Muhammad tetap lebih beruntung daripada saudara-saudaranya yang tidak mempunyai cukup biaya untuk dirawat di RS Swasta. Misalnya saja Abdul Majid, yang dr. Adi dan dr. Anton diminta untuk memeriksanya. Ia korban ledakan sebuah mortar. Tulang tangan sebelah kiri sempal/hilang. Malangnya, sudah hampir dua bulan Abdul Majid tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai.
Abdul Majid hanya dirawat di rumah tempat ia dan keluarganya mengungsi di Antakya. Ia belum mempunyai biaya yang cukup untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya di RS Swasta. Ia lebih memilih menunggu rezeki yang cukup untuk berobat, daripada mendatangi RS Pemerintah yang memang murah, namun dokternya rata-rata Nushairiyah. “Bukannya sembuh, tapi bisa berujung pada cacat permanent atau mungkin kematian,” kata Yasir mengingatkan soal trauma tadi.
Para dokter itu, memang warga negara Turki. Namun di sini, di perbatasan Turki dan Suriah, banyak dihuni oleh orang-orang Nushairiyah (Alawiyyin). Status warga negara yang berbeda bukan jaminan sikap yang berbeda bila sama-sama menganut sebuah keyakinan. Wajar bila rakyat Suriah telah mengalami perlakukan kejam oleh dokter-dokter Nushairiyah di negeri mereka, merasa khawatir dengan “rekan-rekan seakidah” para pembantai tersebut, meski statusnya warga negara Turki.
Agaknya, para pengungsi Abdul Majid, Muhammad dan para pengungsi lain yang memerlukan perawatan masih akan terjebak dalam dilema seperti ini dalam kurun waktu yang lama. Sebab, mereka juga tidak mempunyai kekuatan untuk melayangkan protes ke pemerintah Turki. “Mereka lebih memilih memendam hal ini, karena merasa berutang budi pada pemerintah Turki yang sangat welcome terhadap warga Suriah,” jelas Yasir. Nah, saatnya kita, umat Islam Indonesia mengambil peran solutif. Intinya ada di soal biaya!
Angga Dimas Pershada
Ketua Tim Relawan HASI (Hilal Ahmar Society) untuk Krisis Suriah