Hukum Mempelajari Pendidikan Seks dalam Islam

Dia pun menjelaskan, boleh-boleh saja negara membatasi usia pernikahan. Warga negara pun wajib hukumnya untuk mengikuti hal tersebut. Namun, kata dia, apabila pembatasan usia pernikahan oleh negara itu ternyata tidak sesuai dengan pandangan pribadi, maka yang bersangkutan diperkenankan mengajukan judicial review untuk menyanggahnya.

Sebab, hal itu masuk ke dalam konteks bernegara. Perlakuannya pun harus disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku yang telah disepakati bersama.

Diskursus pendidikan seks juga dapat meliputi fungsi-fungsi reproduksi perempuan. Di dalam kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer, tak sedikit diskursus tersebut dijabarakan oleh para ulama. “Terkait fungsi-fungsi reproduksi seperti menstruasi, hamil, menyusui, dan melahirkan, itu banyak diajarkan di kitab-kitab fikih,” kata Wakil Ketua LBMNU Bidang Maudlu’iyyah, KH Abdul Moqsith Ghazali.

Dalam kitab Risalah ad-Dima at-Thabi’iyah li an-Nisaa karya Syekh Ibnu Utsaimin dijelaskan dengan detail perkara menstruasi (haid) mulai makna menstruasi, hikmahnya, hingga detail masa haid dan jangka waktunya. Menurut Syekh Ibnu Utsaimin, haid yang merupakan darah alami yang keluar tanpa sebab sakit, luka, jatuh, atau melahirkan itu memiliki perbedaan yang sangat jelas di masing-masing perempuan.

Dia menegaskan, penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari pendidikan seks dalam diskursus haid ini. KH Moqsith menambahkan, pendidikan seks terkait dengan syariat, seperti haid justru dapat dihukumi sebagai hukum yang wajib atau fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf (Muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama). Sedangkan pendidikan seks yang lingkupnya lebih privat dihukumi boleh asalkan dapat disesuaikan dengan usia anak laki-laki maupun perempuan yang menyimaknya.

Dalam Alquran surah al-Baqarah penggalan ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari di bulan puasa bercampur (melakukan hubungan badan) dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

Menurut Kiai Moqsith, redaksi yang menyebutkan, suami dan istri diibaratkan sebagai pakaian yang masing-masing saling membutuhkan itu dapat dipahami sebagai metafora atau majazi. Alquran juga menyebutkan istri adalah ‘ladang’bagi laki-laki, maka dianjurkan ‘bercocok tanam’ dengan cara yang disukai. “Yang penting ‘bercocok tanamnya’ di lokasi yang memungkinkan bisa tumbuh ‘buah’. Bukan di lokasi yang diharamkan oleh mayoritas ulama,” ujar dia.

Pendidikan seks dalam ranah privat juga tak lepas dari adab yang menyertainya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran surah an-Nisa penggalan ayat 19, artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara baik (patut).” Pergaulan antara keduanya yang dimaksud meliputi kata-kata, harta, dan perbuatan (lahiriah dan batiniah).

Dalam konteks berhubungan intim, baik suami maupun istri memiliki hak untuk mendapatkan hal tersebut. Keduanya harus saling melayani kecuali dalam kondisi yang membahayakan dari segi agama maupun fisik. Maka, jika salah satu pasangan dalam kondisi yang tidak sehat secara fisik, ulama pun memberikan tenggat waktu pemenuhan hak dalam berhubungan intim.

Berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali, tenggat maksimum pemenuhan hak kepada pasangan dilakukan setiap empat bulan sekali. Hal ini disandarkan pada hujjah “lilladzina yu’luna mina-nisaihim” dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 226. (rol)